Aphasia, Wernicke, dan Broca


Aku ingin menghilang dari suara-suara yang entah apa itu. Namun, aku cuma bisa memendamnya, tanpa bisa tahu bagaimana cara keluarnya. Suara-suara itu membuatku serasa berada di titik ‘nol’. Aku takut, tapi aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Kalau saja, ada orang yang juga mengalami seperti apa yang aku alami, aku ingin segera ngobrol dengannya.

Dengan bumi yang semakin tua, yang dipenuhi oleh beragam fasilitas yang seharusnya bisa lebih memudahkan kehidupan, juga dihadapkan pada kenyataan bahwa begitu banyak waktu yang senggang, juga rumah mewah, mobil, uang, dan berbagai macam jenis mainan canggih, aku juga tidak kekurangan uang. Kurang apa lagi? Tapi ternyata batin tak selalu bisa tenang hanya dengan itu. Singkat kata, itu semua tidak dapat memberikan ‘arti’ buat kehidupanku. Aku selalu diliputi kegelisahan, entahlah, aku merasa hidup tidak tenang. Pada saat-saat tertentu aku merasa seakan-akan seperti sebuah kapal tanpa kemudi di laut yang bergolak, tak tahu ke mana harus berlabuh.
Aku tersedu mengenang nasib diri. Aku terus duduk termenung bagai tidak sadar dan membiarkan hujan diluar turun membasahi tubuhku.
“Aku sering menghabiskan waktuku melihat orang-orang yang berlalu-lalang di hadapanku. ‘APAKAH MEREKA SEDANG BERBAHAGIA??’ Lalu, aku pun berpikir untuk mendapatkan kebahagiaan itu. Karena aku merasa semua tak berjalan dengan baik. Dan terkadang aku juga ingin mereka menderita seperti aku. Tapi kini satu yang terlintas, bagaimana aku bisa mendapatkannya?”
Aku merasa tidak ada yang bisa dilakukan untuk mencapai sebuah ‘arti’ kehidupan. Perasaan jengah, jenuh, takut, keinginan untuk keluar dari kehidupan yang tengah ku jalani menjadi semakin kuat. ‘Dulu aku merasa bahwa semua itu disebabkan dari dalam diriku. Tapi belakangan aku menyadari, semua itu disebabkan lebih dari itu.’
Aku ingin mengatakan apa yang sebenarnya sedang aku alami; “Lihatlah aku, sahabat. Perhatikanlah wajahku, dan bacalah apa yang kalian belum tahu dan tak kuasa aku mengatakannya.
“Lihatlah aku, kekasihku. Pandahlah aku, saudaraku. Dan kalian akan tahu jika aku memiliki jiwa yang cedera. Karena sekian lama telingaku telah dibisiku bila hidupku adalah kegelapan. Dan dengan penuh ketakutan, aku tak sanggup mengatakannya. Bibirku berbohong dan telah menyelimuti rahasia-rahasia hatiku.
Sungguh, seandainya saja jiwaku yang duka menemukan ketentraman saat bersatu dengan sesamanya, maka hati yang disatukan oleh duka cita itu tak akan terpisahkan walau oleh kemenangan rasa kebahagiaan.”
Tapi aku merasa bahwa emosiku masih terlalu dalam untuk dituangkan dalam kata-kata, karena telah terenggut dengan berat oleh suatu daya paksa dalam diriku. Itu adalah penyakit ‘aphasia wernicke dan broca’, penyakit yang kuderita hingga membuatku sulit bicara dan sulit merangkai kata. Bila aku mulai bicara, kata-kataku tumpang tindih satu sama lain, terputar balik, tak dapat dimengerti. Bila aku berjuang mengungkapkan satu pikiran, namun bagi yang mendengar, aku hanya berceloteh. Untuk menulis beberapa kalimat saja, aku harus berhari-hari berselancar di dunia maya atau bolak-balik ke perpustakaan guna mendapatkan beberapa kata yang sesuai.
“Atau mungkin karena aku terbelenggu oleh kebijaksanaan dan terlalu muda untuk bicara diluar masalah diri. Sedangkan ini masih saja kedalaman merindukan kedalaman.”
Yah, begitulah, aku orang cacat dan orang cacat butuh alat bantu. Ketika ingin bicara, aku butuh sesuatu untuk jadi ‘alat bicara’ ku. Ketika kesulitan berpikir, aku butuh sesuatu untuk jadi ‘alat berpikir’ ku. Dan, semua yang kutulis ini adalah untuk menanggulangi semua itu.
“Kau memang anak yang tak tahu terima kasih, lihat siapa kamu dan apa yang kamu lakukan. Duniamu akan jadi lebih baik bila kamu tak didunia ini. Kamu memang layak mati.” Omongan sosok-sosok hitam itu kurasakan sangat mengerikan, menakutkan. Meski tak bisa membawaku pada kematian, tapi itu sangat menghujam. Semua hanya bisa kurasakan, memuakkan.
Limbung dan  ketakutan  yang  amat  sangat  langsung melanda sanubari ku. Bulu kudukku merinding. Aku sepertinya jatuh dari ketinggian tanpa tahu akhirnya. Rasa sesak nafasku demikian menekan emosiku. Aku merasa begitu sangat lemah, terbatas dan tak punya pilihan.
Bayangan-bayangan terkadang muncul lebih jelas, tapi hanya beberapa detik. Bayangan-bayangan visual datang dan pergi, tapi suara-suara itu terkadang terlalu sering menemaniku-kadang meraung di telingaku, kadang berceloteh di belakang. Dan semakin lama mereka semakin cenderung.
Kini kengerian berikutnya datang menyusul. Sesosok lelaki hitam muncul. Bukan hanya satu, tapi muncul lagi dua, tiga, empat. Aku menghindarkan tatapan mata mereka. Dan aku tak tahu harus bereaksi bagaimana lagi.
“Hidup memang kejam. Apa bedanya dengan kematian?” Satu suara.
“Kami akan membakarmu...”
“Kami akan menggantungmu.”
“Ya, ya, kami akan membunuhmu.”
“Gantung dia. Dunia akan menjadi lebih baik tanpa dia.” Setan-setan itu datang dan memerintah.
Mereka seakan-akan sedang menulis dan menyutradarai kisah hidupku. Suara-suara itu menjadi semakin keras dan semakin banyak jumlahnya. Dan suara-suara itu semakin menampakkan gejala-gejala yang memembahayakan. Saat itu aku tak tahu akankah ada jaminan aku bisa bisa menarik nafas yang sama pada detik berikutnya. Ditambah suara-suara gelak tawa mereka yang semakin menyiksaku, menambah kengerian suasananya.
“Di dunia ini ada banyak orang yang berbuat jahat, dan dalam kehidupan ini tak ada yang  baik  padamu,  tak  ada  kebaikan  sama  sekali,  tidak  ada  keadilan.”  Suara  itu menghukumku.

Belum ada Komentar

Posting Komentar