Inilah Kematian
Duhai aku ingin mengerti, perasaan sebagai jiwa yang terbebas dari penjara bernama tubuh. Perasaan yang menyentuh sebagian dari cita cita. “Oh Tuhan, Engkau telah menumbuhkan teratai putih di gurun hatiku yang luka, dan melontarkan aku kelembah yang jauh, guna memperlihatkan aku pada kembang yang layu. Sebenarnya, apakah dosaku? Sedangkan mereka yang membangkang-Mu hidup dalam kebahagiaan?”
“Tuhan, aku takut kalau Kau biarkan terlalu lama, akan menambah kenangan penuh penderitaan padaku. Maka, lupakan lah aku dari kesedihan yang merupakan kekhawatiran-kekhawatiran terbesit dalam kalbu yang tidak pernah berhenti. Aku berlindung pada-Mu dari sanksi-sanksi-Mu. Dan posisikanlah aku pada posisi yang Kau ridhai dan Kau senangi. Melalui doaku, sucikanlah aku dari setiap hal yang tak kuinginkan. Cukupkanlah cobaan dengan segala kebalikannya ini. Cukupkanlah kekalalain dan seringnya lupaku.”
Mereka telah mengagungkan apa-apa yang tak terhormat disisi Allah. Mereka menukar kemulyaan dengan kerendahan dan mereka bangga akan hal itu. Betapa berhargakah dunia, sampai harus menyingkirkan Tuhan?
“Aku benar-benat tidak tahan dengan gempuran ini. Juga gempuran setan yang turut memperkeruh suasana selama beberapa tahun ini. Terkadang aku berharap secepatnya aku mati.“
Disebabkan bahwa kebanyakan orang melihat dunia ini indah, hingga membuat mereka lari dari keimanan menuju keindahan yang rendah. Padahal sesungguhnya keimanan di dalam hati adalah sebuah anugerah terindah, yang telah diberikan oleh Allah. Tapi lantas mereka menganggap bahwa anugerah ini adalah sesuatu yang tak berharga.
Ikatan terhadap dunia, itulah yang membuat manusia merasakan sakitnya sakaratul maut. Karenanya banyak orang yang tersesat saat menjelang ajal. Dia yang mau meninggalkan dunia, tapi jiwanya masih ingin menikmatinya. Akalnya masih belum rela pergi, hatinya pun masih belum enggan meninggalkan kenikmatan yang selama ini ia rasakan. Maka, jadilah tarik menarik antara keinginan untuk tetap tinggal didunia dan ketentuan bahwa sudah masanya untuk meninggalkannya.
Aku masih diam, tak tahu lagi mesti bagaimana cara menunjukkan kebenaran-Nya, kecuali telah menemukan pelanggaran yang membentuk lingkaran yang sangat kuat untuk siap berkoalisi melawan segalan ajaran-Nya.
Dan akankah keburukan ini mengalahkan ajaran-Nya? Aku tidak tahu, yang ku tahu aku ingin tetap hidup untuk agama ini. Itulah pikiranku. Tapi aku tak tahu apa yang harus aku lakukan untuk diriku sendiri. Karena ‘mustahil kita bisa bangkit tanpa pertolongan Allah.’
“Aku ibarat biola ditangan orang yang tak pandai memainkannya. Sehingga hanya melodi sumbang yang dapat diperdengarkannya.”
Ketahuilah, bahwasanya hanya disetiap malam yang kulalui aku baru bisa mendapatkan ketenangan batin yang tak bisa kudapat diwaktu yang lain. Dalam usiaku yang delapan belas tahun ini, aku telah mengalami semua ini secara pribadi. Diwaktu yang seperti itu, lebih mudah bagiku untuk merenungi apa arti hidup ini. Aku berusaha mencarinya dalam satu atau lebih area kehidupan. Dan itu menjadi hobi yang paling kusukai.
***
“TUHAN, apa aku seorang pelaku criminal; pengikut kemaksiatan; dan orang yang angkuh lagi sombong? Padahal pada saat orang lain membangkang pada-Mu, aku selalu memohon taubat pada-Mu; dan aku masih berusaha berbuat kebaikan saat mereka melakukan keburukan. Mengapa harus aku mengalami rasa yang tak tentu ini?Mereka semua telah melemahkanku, sebab itu jangalah Engkau menjadikan mereka menyoraki melihat kemalanganku.”
Aku benar-benar ingin jadi apapun. Harapan ini benar-benar mengikatku. Aku ingin segera hidup. Bukan dibiarkan mati.
“Begitu rendah kalian manusia tanpa memiliki cita-cita. Bagiku, bumi tak memerlukan siapapun dari kalian. Penderitaan bumi, karena penghuninya cuma hidup tanpa adanya tujuan dalam Tuhan.”
Aku sadar, aku tak bisa mempertaruhkan nyawa ditempat yang seperti ini. Sungguh, aku merasa inilah kematian, kematian akan ajaran-Nya yang kucintai.
“Hidupku adalah kematian. Siang, malam berpikir dalam alam kematian, mengharap-harap permulaan hidup. Berapa lama lagikah aku mati didunia ini? Masih lama lagi kah kehidupan itu? Aku tentu ingin hidup kembali, kehidupan yang akan menghidupkanku nanti. Mati kaya akan dosa dan siksa neraka banyak ku alami didunia ini. Ku ingin hidup nanti, tiada terhitung kebahagiaan yang ingin ku rasakan. Hidup tanpa mempan kematian, abadi untuk selama-lamanya. Terlepas dari belenggu badan yang menjadi dinding tebal untuk melihat Tuhan.”
Kalau terus begini tidak ada masa depan untukku. Aku tidak ingin lagi menyimpang dari jalanku lebih dari ini. Untuk kemajuan, kapan saja aku siap mempertaruhkan apapun. Bahkan walau aku ‘kan berjalan segelap apapun.
Tetapi mengapa aku berbicara ditempat yang tak seorang pun yang memiliki telinga? Kali ini aku harus berbicara pada siapa lagi? Diantara tak ada yang mendengarkanku. Pada Tuhan? Aku berpikir kadang Tuhan juga tak memperhatikanku meski Tuhan berfirman bahwa Dia selalu ada buat hamba-Nya.
Mengapa?
Karena aku takut, sebab aku masih egois dengan tak mematuhi perintah-Nya, dan masih saja merasa sebagai makhluk yang paling diperhatikan Tuhan, padahal nyaris setiap hari melupakan Tuhan dan bergulat dengan dosa, zina, dusta dan seribu satu macam ingkar nikmat lainnya. Aku terlampau membumi sehingga tidak kuasa melepas ke-‘aku’anku.
“Tidak. Jangan meragukan Tuhan! Sedang kau adalah penganut ajaran agama yang teguh. Yakinlah rahmat Tuhan lebih dulu dari kemurkaan-Nya.”
Belum ada Komentar
Posting Komentar