CHILDHOOD
Aku adalah seorang anak berdarahcampuran China dan Jawa. Ibuku adalah keturunan China. Sedangkan ayahku adalah keturunan Jawa. Dan betapa pun itu, di dalam tubuhku telah mengalir dua darah dari ketiga suku di dunia yang memiliki kecerdasan lebih dari ribuan suku lainnya.
China, yang menggenggam dunia dengan kejeniusan finansialnya. Dan suku jawa, yang dahulu kala sebelumnya telah menggenggam dunia dengan kejeniusan kulturalnya. Bukan itu saja, yang dimana dahulu, merekalah suku jawa para leluhurku yang pernah melakukan infasi hingga Benua Amerika dengan mengalahkan bangsa Indian dan berperang dengan prajurit Bangsa Maya dan kemudian menguasai wilayah tersebut hingga diangkat sebagai penguasa. Tidak hanya itu, beberapa bangsa lain seperti Bangsa Han (China), Bangsa Campa, Bangsa Maya, Bangsa Yahudi dan Bangsa Mesir tunduk pada leluhurku.
Apakah kebetulan atau tanda bahwa aku dilahirkan dalam kelas yang tinggi? Tapi apa pun kelahiran atau takdirku, bagiku ini bukan keputusan Tuhan yang mendadak. Dan takdir telah ditulis jauh sebelum aku ada.
Tapi, sejak ibuku meninggal, aku bukan hanya kehilangan ibu, tapi juga kehilangan orang tua. Sebab, ayahku pun telah meninggal semenjak aku masih dalam buaian. Akibatnya aku kehilangan orang yang memuji dan mengakui keberadaanku. Aku kesepian dan seperti tak mempunyai masa remaja yang normal. Sepertinya aku jatuh dari ketinggian. Dan tak bisa menemukan tempat seharusnya ku berada.
Walau begitu, tak sekalipun aku menangis sambil mengeluh tentang keadaanku. Meskipun harus berbuat konyol, aku berusaha sekuat tenaga untuk membuat orang lain tertawa dan mengakui keberadaanku. Walau menyakitkan, tapi aku pikir dari pada tak ada yang memperhatikanku, jadi lebih baik aku terus bersikap seperti itu.
“Kalau saja ada yang bisa lebih baik padaku, mungkin aku tak terlalu sendirian dan menderita seperti ini.”
Tapi, aku jadi tak mengerti siapa diriku. Bagiku, sejak kecil di tinggal ibu, tak punya banyak teman juga berpindah pindah kepribadian, semua keberadaan diluar tubuh ini hanya sesuatu yang tidak jelas sampai aku jadi seperti sekarang ini. Aku kehilangan siapa diriku sebenarnya. Penderitaan tidak punya identitas ini, siapa aku, aku tak mengerti sebenarnya diriku yang mana, dan barus berbuat apa.
Soal agama pun, aku juga belum memahami betapa pentingnya hal itu. Apalagi menentang dan atau mempertanggung-jawabkannya. Mungkin dengan kata lain, aku tidak terlalu percaya pada agama.
Mereka juga tidak memberi ruang untuk hal-hal yang tidak terlihat oleh mata. Agama cuma sekadar tradisi saja bahwa para nenek moyang dulu mewariskan kebudayaannya itu kepada keturunannya. Meski pada umumnya mereka masih mengaku beragama Islam, tapi mereka meninggalkan shalat.
***
“Wahai teman sebayaku, jika engkau mengingat awal masa mudamu dengan kegembiraan dan menyesalinya karena ia telah berlalu, namun aku mengingatnya seperti seorang narapidana yang dipanggil kembali oleh jeruji dan belenggu penjaranya. Engkau menganggap tahun-tahun antara masa kecil dan masa muda sebagai masa kejayaan yang bebas dari kurungan dan kesusahan, namun aku menyebut tahun-tahun tersebut sebagai kesunyian yang menyedihkan yang jatuh seperti benih yang masuk dan tumbuh di hatiku dan tidak dapat menemukan jalan keluar menuju dunia pengetahuan dan kebijaksanaan.” Khalil Gibran.
Apa yang dikatakanKhalil Gibran memang benar. Seperti inilah masa remajaku, aku hilang dalam kegelapan, keheningan, dan kelengkapan. Terlebih, aku sudah sendiri dalam banyak arah, entah sejak kapan. Tapi aku bukan orang yang sekarat. Aku hidup, hanya saja dalam kekacauan.
“Duhai kawan, begitu menyakitkan bila hidup hanya setengah setengah.”
Aku bingung tak tahu harus bagaimana. Aku jatuh dan takut, takut dengan diriku sendiri, takut dengan orang-orang diluar sana. Pikiranku selalu memikirkan hal-hal yang negatif, membuatku tak bisa tidur, tapi juga tak benar-benar terjaga. Aku sedih, tapi aku hanya bisa menangis dalam hati.
“Aku lah juara sakit hati. Aku lah yang terjebak dalam bayangan hidup. Aku lah yang hidup dalam kepalsuan. Aku lah yang dibunuh oleh mimpi-mimpi. Aku lah orang baik yang jadi pengecut.”
Aku merasakan pahitnya keadaan hingga terasa muak. Aku merasa begitu terhina; sedang penghinaan adalah siklus yang tiada henti.
Aku tidak bisa menerima keadaannya itu. Aku tidak bisa menerima saat kebahagiaan itu tidak lagi ku alami. Pikiranku menolak menerima kenyataan bahwa kebahagiaan itu telah berlalu.
“Ku akui, aku benar-benar gelisah. Merasa takut dan susah hati menjalani hidup yang begini-begini saja dan tak terlepas dari kebimbangan dan kesedihan; yang mengeruhkan kebeningan kehidupanku dan mematahkan kenikmatanku.
Aku pun merasa berusaha mencari sesuatu, seperti sesuatu yang juga dicari oleh kebanyakan orang dalam hidupnya. Tapi aku tak tahu apa yang harus aku cari. Terlebih cara untuk mendapatkannya. Aku sering merasa bingung, merasa banyak menjumpai kekacauan dan kekalutan batin. Aku sering diserang oleh bermacam-macam perasaan yang tidak memuaskan atau kurang menyenangkan hati.
Ini bukan soal perempuan, tapi lebih rumit lagi. Aku menderita, aku membenci diriku sendiri karena aku tak bisa keluar sendiri dari penderitaan ini. Sebenarnya apa yang menjadi penyebebabnya? Apakah masa lalu? Ataukah kenangan buruk?”
Aku merasa tidak senang bila bertemu dengan sesuatu yang tidak sejalan dengan keinginanku, dan tidak senang itu berkembang menjadi jengkel. Jengkel lalu berkembang menjadi marah dan akhirnya mengkristal menjadi kebencian. Itulah pikiranku yang dipenuhi dengan kebencian dan sangat ”kreatif” mengarahkan persepsi, ucapan, dan perbuatan atau tindakanku untuk memuaskan kebencian. Pernahkah kalian lihat orang seperti aku ini?
Ingin sekali rasanya aku mengadu, tapi pada siapa, juga bagaimana kata untuk memulainya; karena kata-kata terlalu miskin dan tak memadai guna menyatakan isi hatiku. Apa mungkin aku takut di kasihani; karena belas kasihan menyebabkan kelemahan, sedangkan aku merasa masih tegar menghadapinya?
Sungguh, jam tetap saja berdetak, dan setiap detik yang berlalu tanpa terasa adalah suatu moment yang tidak akan pernah bisa diputar kembali. Dan setiap hari yang berlalu itu membawaku pada suatu hari yang lebih dekat dengan ujung waktu terbatasku di muka bumi.
Aku ingin segera keluar dari keadaan ini. Sebab aku berpikir aku tak punyai lebih banyak waktu lagi dari pada waktu yang benar-benar ku miliki.
“Duhai waktu semakin berlalu, dan ku semakin mendekatkan diri kepada rangkuman ajal. Akankah sampai ajal memanggil, aku juga tak akan terbebas? Mungkinkah sampai pada saatnya tubuhku dingin berselubung kain putih, terjaga oleh keheningan waktu, sedangkan kejahatan yang menyerangku ini belum juga pergi?” Khalil Jibran.
Betapa sering aku dibingungkan oleh masalah-masalah aneh, yang hendak ku ingkari, tapi tak dapat kuhapus dari ingatan. Dan semuanya menjadi tak begitu normal. Aku tak bisa melihat dengan apa adanya. Aku teganggu dengan kejadian atau benda-benda. Dan aku beranggapan kalau dapat merubah keadaan ini, aku akan menjadi tenang dan bahagia. Namun sekali lagi, aku tak bisa melihat dengan jelas jalan keluarnya, atau ‘caranya’.
Mengapa hidup ku selalu diikuti berbagai pertanyaan yang entah dari mana datangnya? Sebagian pertanyaan dengan mudah kujawab, tapi sebagian besar menjadi pertanyaan abadi.
Proses pencarian jawaban itu menyita sebagian besar waktuku. Waktu berlalu begitu cepat. Aku menjadi budak pikiran yang mengembara tak tentu. Kadang, jika aku merasa telah menemukan jawaban,namun selalu saja seperti ada yang telah terlewatkan. Ia (jawaban itu-red) tersembunyi lagi pertanyaan-pertanyaan baru. Tersembunyi dalam jalur jalur seperti labirin, jalur yang jauh menjalar jalar, jalur yang tak dikenal dilokus-lokus antah berantah, tiada berujung. Menyeretku masuk sendirian mengarungi jalur pertanyaan itu. Mengutukiku sepanjang malam.
Sering kali aku menempuh cara yang salah untuk keluar. Aku cenderung melihat dan mencari di luar diriku sendiri. Tapi, dunia justru menjadi sumber kegelisahanku.
Aku mencari lagi dalam keluarga, dalam kehidupan sekolah, dalam pergaulan dan sebagainya. Tapi justru itu membuatku jadi banyak bertanya. Semua itu membingungkan. Aku tak dapat memahami dunia melalui pengertian dan penalaran seperti itu.
“Aku dan burung dalam sangkar tidak jauh beda. Kita sama-sama mengalami sisi gelap dunia ini. Bahkan lubang harapan sekecil apapun bisa mencapai mata kita seperti seberkas cahaya. Di masa lalu, dan bahkan sekarang.”
Aku tidak tahu apakah harus menghilang, atau berubah menjadi hantu, atau jadi apa. Yang ku tahu, aku adalah perasa, bukan roh yang melayang di langit berawan yang hitam, bukan seperti malam yang menebarkan jubah hitamnya kepermukaan kota; tenggelam dalam keheningan, juga bukan tubuh yang dilahirkan dalam keadaan mati.
Aku takut jika kecendrungan ini menggantikanku dengan tindakan bertahan hidup belaka, atau ‘hanya mendapatkan sekedarnya’. Aku takut mereka akan datang padanya seperti bandit yang bersenjata.
Aku yang kadang penuh emosi, tidak bisa menilai lebih Ianjut tentang apa yang sebenarnya ku hadapi. Paradigmaku semakin rumit, dan bergoyang dan kehilangan jiwanya sampai dileherku merasa bebas.
“Aku takut kesepian menguasai diriku. Aku ingin berhenti melarikan diri kedalam duniaku sendiri, dunia yang terasing. Aku takut aku tak bisa kembali.”
Aku tidak bisa walau sedikit saja merasa ringan, terlupa dari beban masalah, menepi dari segala kesedihan, menjauh dari segala gundah-gulana, melupakan sejenak awan hitam yang menghimpit harapan, atau tersenyum menatap kenyataan. Aku lelah; tenagaku terkuras; langkahku telah gontai; dan air mataku telah melelehkan semangatku. Aku tak tahu aku ini sedang sedih ataukah sedang mabuk?
“Kenapa begitu berbeda? Kenapa aku ini? Padahal seharusnya aku tak seperti ini. Sial, udaranya begitu dashyat. Hanya bergerak sedikit saja rasanya ingin mati. Berada terus disekitar keadaan ini rasanya bisa gila. Intenstas kegelisahan ini, juga semua rasa yang selalu ada serasa meremukkan jiwa. Rasanya lebih baik mati sekarang dan terbebas dari tekanan ini.”
Seperti itulah hidupku. Aku kehilangan kebahagiaan, rasa untuk bersyukur, lega, kedamaian, dan apapun itu. Benar apa kata orang, ‘manusia baru akan menyadari dengan sungguh-sungguh kalau dia kehilangan sesuatu’.
Tapi apa keberadaanku hanya segini saja? Kapan aku bisa bahagia? Kapan aku bisa bersyukur dan sunguh-sungguh bersyukur? Kapan aku bisa lega? Kapan aku benar-benar ada? Dan sampai kapan aku berada disini?Karena aku sudah lama menghilang dari dunia. Senyuman palsu menutupi hariku. Rasa kesepian selalu terasa hingga aku sudah terbiasa tersenyum begitu mudahnya.
“Mungkin kah semenjak aku dalam kandungan, penderitaan sudah menungguku, dan kegetiran juga sudah mengendap tersembunyi di dasar piala kegembiraanku? Karena hari ini, meski aku sudah dewasa, sepertinya aku masih menjadi burung kecil yang menjadi incaran elang, takut kalau-kalau aku akan terengut oleh cakarnya, lalu dibawa membumbung ke langit.” Khalil Jibran
“Bunuh dirimu, tak ada yang baik padamu disini, dunia ini tak ada kebaikan sama sekali,” kata mereka. Suara-suara itu datang pertama kali tanpa peringatan pada suatu malam saat aku berumur 14 tahun. Suara-suara itu dari dari luar rumah. Mereka datang tanpa peringatan, seakan memanjati pagar dan menyelinap masuk dari lubang-lubang ventilasi jendela.
***
Aku tak ingin memberikan tontonan yang menyedihkan; tapi aku bosan memainkan sandiwara murahan itu. Susahnya bila harus mengatasi hal yang merepotkan dengan senyuman; meski diluar dugaan semua tertipu. Tapi itu sakit sekali, lebih menyakitkan dari keberadaan yang tak diinginkan. Perasaan itu, entah kenapa sangat kumengerti sampai terasa muak.
“Aku, ada yang aneh padaku. Ada kesia-siaan padaku. Apa keberadaanku hanya segini saja? Kapan aku bisa bahagia? Kapan aku bisa bersyukur dan sunguh-sungguh bersyukur? Kapan aku bisa lega? Kapan aku tetap boleh disini? Kapan aku benar-benar ada?”
Aku sudah lama menghilang dari dunia. Senyuman palsu menutupi hariku. Rasa kesepian selalu terasa hingga aku terbiasa tersenyum setiap saat.
Lalu apa yang dikatakan suara-suara itu? “Anak tak tahu terima kasih, lihat siapa kamu dan apa yang telah kamu inginkan. Duniamu akan jadi lebih baik bila kamu tak didunia ini. Bukankah mereka telah mengecewakanmu? Mereka memang tak layak mendapatkan hal yang lebih baik daripada kamu.”
Suara-suara itu membuatku serasa berada di titik “nol”. Aku takut, tapi tidak tahu apa yang harus di lakukan. Kalau saja, ada orang yang juga mengalami seperti apa yang ku alami, aku ingin segera ngobrol dengannya. ‘Karena, aku ingin masa depan, aku ingin menghilang dari suara-suara itu, aku juga ingin kehidupan kedua yang lebih baik. Namun, aku cuma bisa membicarakannya, tanpa bisa tahu bagaimana cara keluarnya.’
“Bila hidup yang nyata ini adalah mimpi, aku pun ingin ini hanyalah mimpi. Dan bila mimpi itu adalah kenyataan, aku tak mau hidup didalamnya. Karena aku tak bisa keluar dari keadaan ini.”
Dengan bumi yang semakin tua, serta dipenuhi oleh beragam fasilitas yang seharusnya bisa lebih memudahkan kehidupan, namun aku merasakan bisikan yang menghujam, tapi tak bisa membawaku pada kematian. Semua hanya bisa dirasakan, memuakkan, hingga aku ingin selalu mengakhiri hidupku sendiri. Inilah keberadaan sementaraku; aku, yang entah menyembunyikan apapun juga itu.
Seperti itulah rasa sebelum usiaku genap 16 tahun. Aku, merasa bahwa semua itu disebabkan dari dalam dirinya sendiri.
Dan suara-suara itu datang lagi, “Hidup memang kejam. Apa bedanya dengan kematian?” bisik suara itu.
Aku tak tahu harus bereaksi bagaimana lagi. Mereka seakan-akan sedang menulis dan menyutradarai kisah hidupku, menyuruhku melakukan apa yang boleh dan tidak boleh ku lakukan. Bila aku sedang sendirian, suara-suara itu menjadi semakin keras dan semakin banyak jumlahnya.
Dan suara-suara itu semakin menampakkan gejala-gejala yang memembahayakan. Aku tak tahu akankah ada jaminan aku bisa bisa menarik nafas yang sama pada detik berikutnya.
***
Meski dihadapkan pada kenyataan bahwa begitu banyak waktu yang senggang dan uang yang cukup, ternyata tidak dapat memberikan “arti” buat kehidupanku. Padahal aku punya segalanya; rumah, mobil, uang, dan berbagai macam jenis mainan canggih. Aku juga tidak pernah merasa kekurangan uang. Kurang apa lagi? Tapi batin tak pernah tenang hanya dengan materi. Aku selalu diliputi kegelisahan, tapi entahlah, pokoknya aku merasa hidup tidak tenang. Pada saat-saat tertentu aku mengaku bahkan aku merasa seakan-akan seperti sebuah kapal tanpa kemudi di laut yang bergolak, tak tahu ke mana harus berlabuh.
Aku merasa tidak ada yang bisa dilakukan untuk mencapai sebuah “arti” kehidupan. Perasaan jengah, jenuh, takut, keinginan untuk keluar dari kehidupan yang tengah ku jalani menjadi semakin kuat. Beberapa tahun menimbang, kalau ditelisik kondisi kejiwaanku memang sedang acak-acakan.
Aku merasa hidupku seperti mesin mati. Bangun pagi, sekolah dan pulang, atau sekalian aku habiskan masa dikamar untuk menyendiri menikmati bisikan. Aku merasa sudah berpikir keras dan menghindar, tapi tak membuahkan hasil. Ketika suara itu datang, aku meletakkan kedua tangan menutupi telingaku dan berbalik memunggungi asal suara itu. Aku tak tahu, kenapa hidup ini tak bisa lepas dari suara-suara itu.
Dalam keseharian aku nampak sedikit kaku, bimbang, tapi berusaha melempar senyum. Aku ingin menenangkan diriku sendiri sehingga berusaha untuk lebih “confident” dalam ekspresi wajahku. Tapi ada sebuah kekhawatiran di benakku. Aku juga ingin mengatakan apa yang sebenarnya ku alami. “Teman, aku memiliki jiwa yang cedera.”
Kala itu pun aku berpikir untuk mencari “sesuatu” yang lain. Apakah itu Tuhan? Tidak, bagiku "Tuhan" bukanlah Dzat Yang Maha Mulia, tapi sebatas pada sistem yang ada di dalam diri manusia.
Lalu aku mencari jawaban atas segala kenyataan yang ku hadapi. Saat-saat seperti itu, terkadang aku lebih memilih ke ‘pertapaan’ku daripada dirumah.
Dalam diam aku berusaha menentukan langkah untuk kehidupan yang lebih baik. “Barangkali dapat ilham,” pikirku.
Aku menyendiri di tempat yang tidak jauh dari rumahku. Aku duduk sendirian di padang rumput yang sangat luas untuk menenangkan hatiku. Dari kejauhan, aku dapat melihat hamparan gunung Merapi yang berdiri dengan kokohnya. Dan di depan mataku, rumput seakan bersujud diterpa tiupan angin.
Dalam pertapaanku, pertanyaan-pertanyaan aku lontarkan, aku perdebatkan sendiri sampai kehabisan jawaban. Seiring dengan waktu berlalu, pertanyaan demi pertanyaan berlalu begitu saja.
“Tiap kali kututup mataku, aku melihat lembah-lembah itu penuh dengan sihir dan ambisi, gunung-gunung yang tertutup oleh kemuliaan dan kebesaran itu berusaha untuk meraih langit. Tiap kali aku menutup telingaku dari kebisingan kota, aku mendengar gemericik air sungai dan gemerisik dahan-dahan. Semua keindahan-keindahan itu, yang kubicarakan sekarang dan kuamati seperti seorang anak kecil yang terpisah dari susu ibunya, melukai jiwaku. Ia memenjarakanku dalam kegelapan masa muda seperti seekor burung elang yang ada di dalam sangkar ketika ia melihat kawanan burung terbang bebas di langit yang luas. Lembah-lembah dan bukit-bukit itu membakar imajinasiku namun pikiran-pikiran pahit menghalangi hatiku dengan jaring tanpa harapan.
Tiap kali aku pergi ke ladang, tiap itu pula aku kembali dengan kecewa tanpa mengerti apa yang memicu kekecewaanku. Tiap kali aku memandangi langit yang kelabu aku merasa hatiku menciut. Tiap kali aku mendengar nyanyian burung dan celoteh musim semi aku terluka tanpa mengerti penyebab penderitaanku. Orang bilang, bahwa pengalaman membuat seseorang kosong dan kekosongan membuatnya tanpa beban. Mungkin itu benar bagi orang-orang yang dilahirkan dalam keadaan meninggal dan orang-orang yang hidup seperti mayat yang dingin. Tapi seorang pemuda sensitif itu lebih banyak merasa dan sedikit mengetahui. la merupakan makhluk paling sial yang ada di bawah matahari. Karena ia dikoyak oleh dua kekuatan. Kekuatan pertama mengangkat dan menunjukkannya keindahan hidup melalui awan mimpi-mimpi. Sementara kekuatan kedua yang menjatuhkannya ke dalam bumi, memenuhi matanya dengan debu dan menyergap dengan ketakutan dan kegelapan.
Kesunyian itu memiliki kelembutan dan tangan-tangan sutera. Namun dengan jari-jari yang kuat ia menggenggam hati itu dan membuatnya sakit dengan kesepian. Kesunyian adalah teman kesepian sebagaimana sahabat kegembiraan spiritual.
Jiwa pemuda yang mengalami kesepian seperti lili putih yang tak terangkai. la bergetar di hadapan angin sepoi-sepoi yang berhembus, terbuka hatinya di siang hari dan mengatup kembali daun-daunnya saat bayangan malam datang. Jika pemuda ini tidak memiliki hiburan, sahabat atau teman dalam permainannya maka hidupnya akan seperti penjara yang sempit. Di sana tidak ada yang dapat dilihatnya kecuali sarang laba-laba. la tak akan mendengar apa pun kecuali rayapan serangga-serangga.” Khalil Jibran.
Akhirnya aku pergi tanpa tahu lagi jawabannya. Hanya angan yang menerawang dalam kesemuan dan kekosongan akan bayang-bayang hidup yang kian buram, yang serasa semakin mencekam, menciptakan beribu kegelisahan, menjauhkanku dari bayang-bayang kehidupan yang ku inginkan. Tapi begitulah yang terulangi dari hari kehari.
Aku juga sering didatangi bayangan-bayangan aneh: bentuk-bentuk tidak jelas yang bergerak di depan mataku. Terkadang, bayangan-bayangan itu muncul lebih jelas, tapi hanya beberapa detik. Bayangan-bayangan visual datang dan pergi, tapi suara-suara itu terkadang terlalu sering menemaniku – kadang meraung di telingaku, kadang berceloteh di belakangku. Semakin lama mereka semakin cenderung.
Sebelumnya, aku anak yang baik. Tapi akhirnya aku jadi sering mematuhi perintah-perintah mereka dan pergi ke mana pun yang diperintahkan suara-suara itu. Tidak peduli apapun, aku merasa sudah hancur berkeping-keping.
Karena takut berada dirumah, aku sering tidak di rumah hingga berhari-hari. Untuk menyembunyikan gejolak dalam hatiku, aku sering melakukan hal yang tidak baik.Terkadang juga aku melakukan perlawanan yang seharusnya tidak perlu.
“Aku takut dengan keluarga, lalu mencoba melakukan banyak hal, tapi hasilnya malah bertambah terpuruk. Aku lari dari rumah, aku lari ke tempat-tempat sunyi. Aku sering melakukan percobaan untuk mengakhiri hidupku. Tapi keberanianku menciut bila berdekatan dengan maut.”
Waktu berjalan terus, tak terasa sudah setahun berlalu. Dan aku tak punya kemampuan untuk meninggalkan keadaan. Dalam kepalaku ada bermacam ragam karakter pertanyaan yang membuatku sangat sibuk. Bahkan lebih serius dari sebelumnya. Bahasanya sudah berubah.
“Aku harus keluar dan mencari tempat berlindung,” pikirku.
Aku merasa berada di jurang yang dalam. Aku tahu kalau keadaan yang ku jalani ini tidak baik, tapi aku tidak kuasa untuk mendaki tebing jurang tersebut. Dan aku masih saja berputar-putar di dalam keadaan itu.
“Apabila di dunia ini ada orang yang berbuat baik dan ada yang jahat, lalu apakah berarti dalam kehidupan ini tidak ada keadilan?” Pertanyaan itu dipicu oleh perasaanku sendiri yang diperlakukan tak adil oleh teman-temanku (ijime dalam bahasa Japan/bullying dalam bahasa Inggris). Bagaimana tersakiti, sedikit mempunyai teman, dan tak berani melaporkannya kepada orang tua apalagi guruku di sekolah.
”Gantung dirimu. Dunia akan menjadi lebih baik tanpamu. Tak ada yang baik padamu, tak ada kebaikan sama sekali.” Setan-setan itu datang dan memerintahku. Aku terpengaruh untuk mengikuti perintah-perintah buruk itu untuk bunuh diri. Sialnya, selalu ada yang memukulku hingga ku sadar.
Aku bolak-balik di antara dua duniaku. Dan terjerembab semakin dalam ke ”neraka”, tempat suara-suara itu mengambil alih kekuasaan atas diriku. Disaat ketakutan meningkat, sampai-sampai bila terdengar suara ketukan pintu, jantungku berdegup kencang dan keringat mengucur di wajahku saat memikirkan bahwa aku harus berjalan membuka pintu depan. Bahkan aku juga tak akan berani mengintip dari balik tirai mengawasi orang-orang yang lewat.
Bagiku, orang yang bertamu ke rumahku adalah setan paling besar. Hal ini telah membuatku memburuk sampai pada titik aku tidak bisa menerima bila ada orang yang datang kerumahku.
Apakah ada saat-saat aku bisa terbebas dari suara-suara itu? Bisa dibilang ada. Apa itu? Hanya membaca dan menulis yang dapat membebaskanku. Penjelasannya, ‘jika aku pusatkan perhatian pada cerita yang aku baca atau entri-entri yang aku tulis dalam buku, konsentrasi itu akan menurunkan volume suara-suara itu, dan sekali-sekali bahkan dapat membungkam mereka. Namun apa bisa memberikan perlindungan bagiku? Sayangnya tidak. Seperti halnya saat kita mengendarai kendaraan, bila kita tak konsentrasi dengan apa yang kita lakukan, maka ada saatnya akan terjadi kecelakaan.
Aku merasa harus pergi kedunia baru baru, meninggalkan dunia menakutkan ini.
“Tetapi bagaimana?”aku bertanya pada diriku sendiri.
”Pergilah berjalan-jalan, An. Carilah bangunan yang tepat untuk melompat. Kamu punya waktu dan kesempatan.” Kuntit suara yang hanya bisa kupendam jauh didasar jiwa. Betapa aku sudah lelah dalam kata-kata mereka itu, yang hanya bisa ku endapkan dalam tenggorokan, atau aku bungkam dalam kebisuan dan kediamanku.
“Kau harus mati supaya kau tenang. Kapan kau akan menjalankan perintah kami? Bunuh diri, itulah satu-satunya jawaban.” Suara-suara itu selalu menyerangku.
Belum ada Komentar
Posting Komentar