Menentang Takdir
“Aku mulai bosan, aku ingin menjalani kehidupan layaknya dalam keinginanku. Rutinitas hidup yang bersentuhan dengan Tuhan yang menjadi alasan utamaku. Karena aku mulai tersesat dengan monster dari ciptaanku sendiri. Dan dimata semua orang, mungkin aku terlihat santai. Tapi tidak, aku hanya pura-pura kuat. Aku merasa kesal karena selalu dikecewakan.”
Harus aku sesali dan aku akui, waktu melihat mereka yang seperti itu, aku sering merasa tidak puas. “Oh Tuhan, kemana seharusnya aku pergi?” Karena kalau aku cuma tetap disini, aku tak akan bisa mengubah apapun.Aku, kalau tetap disini tak bisa kujadikan untuk memastikan kemampuan. Sudah dipastikan aku juga tak memungkinkan untukku menguasai ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang luas. Bagiku bila aku belajar kesempurnaan, semua akan mudah. Tapi, disini aku masih sebagai orang biasa-biasa saja. Padahal kebiasaanku adalah keinginan untuk menang. Dan itu membutuhkan teman dan lingkungan yang educated dan cerdas, agar aku mendapatkan sinergi yang seimbang.
“Kau tahu kenapa dulu aku selalu juara? Karena aku cinta pada apa yang aku lakukan. Semua adalah jiwaku. Tapi kenapa sekarang ini aku selalu gagal? Karena aku terpaksa menjalani hal yang tak kucintai. Aku mencintai hal lain tapi aku menikahinya. Aku mati. Sedang bila aku menjalani hal yang kucintai, kenapa juga aku gagal? Karena aku takut akan masa depanku. Dan aku tak bisa hidup dengan fokus pada apa yang kucintai. Inilah aku, aku bukan hanya penakut, tapi juga telah mati. Mungkin saja jika aku tinggal disana, mungkin aku akan merasa lebih tentram. Karna mungkin disana tak akan ada manusia yang dalam pandangan-pandanganku sangat durjana.”
Ketekunan yang aku pegang masih menuntut keunggulan dalam setiap langkah yang akan kuambil, karena aku mencintai segala sesuatu yang kreatif; dan karena diarea-areanya setiap diri dariku kekurangan bakat yang diperlukan untuk tahu tentang apapun dan membutuhkan bimbingan dan atau rekan yang efektif.
“AKU takut ketika lima puluh tahun kedepan dengan berbaring dirumah sakit dan menyesali apa yang tidak aku perbuat diwaktu muda. Aku menyesal, seharusnya aku sudah hebat bila tak berada disini.
‘Pemburu mana yang mau tetap tinggal di tempat seperti ini. Sedang selama membidik sepenuh tenaga, telah habis semua anak panahnya, tapi tak sepotong buruan pun yang mampu dibawa pulang. Tak tahu kemana arah terbangnya.’”
Tapi masih saja aku menyembunyikan isi hatiku. Untuk apa? Yah, untuk memastikan wadahku sendiri. “Mereka cuma orang yang kupilih sebagai pelengkap selama orang orang yang aku inginkan tak ada. Dan aku tak ingin mengakui orang-orang seperti mereka. Dan aku juga lebih senang berpikir begitu.
Karena aku mengincar hiu dalam air. Apa teman atau kah musuh? Apa tujuan hidupku? Aku ini siapa? Kemana aku harus pergi? Aku hanya ingin tahu sebesar apa rasa yang ada di dalam hatiku. Sudah jadi sekuat apa aku berkat itu. Tapi yang aku tahu jika disini hidupku adalah sebuah kebohongan besar. Karena hatiku sudah cenderung kesana. Aku sadar, bila tetap berada di tempat yang seperti ini, aku akan tetap jadi manusia biasa. Tidak akan bisa lebih dekat dengan ketinggian.
Dan bila terus seperti ini, hanya lelahlah yang aku dapat. Seakan-akan seperti mencapai sesuatu yang tertinggi hanya dengan sekali lompat. Itu adalah suatu kelelahan yang malang. Yang tak sadar bahwa itulah tubuh yang sudah kehilangan daya terhadap tubuh yang berusaha menyentuh dinding-dinding yang tinggi dengan jemari.
Dan kalau cuma menjadi orang-orangan dengan teman-teman, aku bisa membusuk. Kalau usia betambah, aku akan jadi orang tua bodoh yang suka damai. Tidak! Aku harus membangun semuanya, aku tidak bisa selalu bersama mereka. Aku inginkan kemajuan.”
Aku sebagai manusia secara emosional bisa merasakan goresan luka yang bertahan selamanya. Dari apa yang telah aku rasakan dan aku inginkan, bila aku harus mati dua kali, kurasa aku cukup tahu tentang kehidupan. Untuk menyelamatkan diri dari kehancuran, menjadi seperti yang kuharapkan.
“Aku ingin pergi dan menentang takdirku, walau hanya sekali aku ingin memilih jalanku sendiri. Karena burung yang tertangkap pun, kalau cukup pintar akan membuka sangkar dengan paruhnya. Tanpa menyerahkan keinginan bebas untuk terbang keangkasa.”
Refleksi ini membuatku tua. Perasaan yang tak pernah berubah yang mengisi hatiku, seperti salju yang jatuh ketanah. “Tiap detik yang berlalu, membuatku terpaku ditempat ini. Selalu membayangkan apa yang akan terjadi.”
Aku tak ingin membiarkan diriku lenyap seperti itu. Aku tak ingin menyerahkan kebencian dan bergantung pada kekuatan lain seperti kebanyakan orang. Aku tak mau disamakan seperti mereka dengan perkembangan yang cuma terhenti sampai disitu.
“Apa hidup cuma jadi karakter dari kelas teri yang mudah dan ditakdirkan cepat mati? Tidak. Aku tak ingin kalah ditempat seperti itu. Dengam hormat aku meminta maaf, aku tak punya waktu untuk pemikiran dan hal kuno yang tak berharga seperti itu.”
“Selama ini aku selalu mendengar kata-kata dari orang lain. Untuk sekarang ini, aku ingin didengar apa kata hatiku.
‘Lebih baik kalian tidak menilai orang hanya dari penampilan luar dan persepsi kalian saja. Ini karena kalian seenaknya menilai dan menyimpulkan. Beruntungnya aku orang yang sabar. Kalian yang seperti itu salah mengukur besar wadah kalian sendiri. Dan tergeletak disitu karena kalian tak tahu kedalaman wadahku.
Bila kalian tak mau berubah, itulah penyebab lahirnya pebedaan kalian dengan kaum kafir. Dan terciptalah kaum elit dan kaum gagal. Wajah atau kecerdasan, kemampuan atau ukuran badan, sifat baik dan jahat, kalian hanya akan dinilai dan menilai dengan aspek aspek tersebut. Karena aspek yang tak berubah itulah, kalian berbeda dan dibedakan. Dan akan hidup menderita dalam ikatan kalian sendiri.
Dan karena terus bergantung pada hal kecil, kalian jadi tak bisa melihat hal yang sebenarnya. Perubahan sejati tak bisa dibendung dengan aturan dan keterbatasan serta prediksi dan imajinasi.’”
Aku punya impian besar. Aku ingin menantang dunia. Mungkin saat aku melakukannya, tak kan ada lagi diriku yang seperti ini. Jika aku mati disini, itu berarti aku telah mengecewakan diriku. Tapi jika aku pergi, ada kesempatan besar untuk bisa mewujudkan dan melakukan apapun yang aku inginkan. Sekarang aku mengerti arti dari Tuhan tak akan merubah keadaan suatu kaum tanpa mereka sendiri merubahnya.
Aku sekarang menghormati tindakan dan kekuatan. Aku benar-benar sudah tak tahan membelokkan keyakinan dan merusak tubuh. Aku juga ingin berhenti menghaluskan dan memoles tubuh. Aku tak ingin berdoa lagi pada Tuhan dengan banyak memohon beri hamba ini, beri hamba itu sampai terkabulnya keinginanku.
Aku sudah tak mau kehilangan sesuatu yang berharga lagi. Dan aku tak mau menyesal dikemudian hari. Semua ini demi kepercayaanku. Dan itu tak akan berubah.
Aku tak mau hidup di tempat yang hangat ini dengan cara selalu menjilati luka dengan teman-teman dan melupakannya. Tempat ini hanya akan jadi pengikat bagiku. Hubungan membosankan itu ingin segera kuputuskan. Karena aku inginkan kemajuan. Bukan di jalan yang usang dan dengan keberhasilan yang seadanya seperti ini.
Aku akan jadi seperti apa, tak ada hubungannya dengan siapapun. Aku ingin menentukan jalanku sendiri. Aku berkata terus terang bahwa waktu bermain sudah selesai. Karena bersama mereka, aku tak bertambah lebih dari yang dulu. Aku hanya semakin menderita.
Akan kubiarkan mereka sendiri karena tak punya keingingan untuk melampuhi batas. Walau harus pada setan, aku akan pergi. Karena bagiku mereka mempunyai cara yang kuinginkan dalam urusan kehidupan.
“Cita-citaku tidak ada dimasa depan. Cita-citaku hanya ada dimasa lalu. Karena di masa lalu, telah aku perhatikan betapa banyak hal yang dulu kubela mati-matian - yang ternyata tidak penting.
Jadi, aku memisahkan diri untuk bertahan hidup. Karena disini adalah kegelapan. Dunia tanpa cahaya dimana bunga akan layu dan mati. Mulai sekarang kita harus mulai, jalan hidup kita masing masing.”
Aku ingin pergi untuk mewujudkan impian jadi kenyataan. Aku memimpikan sesuatu yang lebih. Meski disini adalah tanah kelahiranku, aku yakin tak akan menyesal dengan keputusaku. Karena dalam hidup ini, diluar sana ada banyak hal yang berharga. Aku ingin menemukan tempat yang asing, orang-orang yang asing, dan kepribadian yang asing.
Aku sadar, keterusterangan ini tidaklah baik untuk diriku sendiri. Sebab cara berbicaraku terlalu jujur, sedang aku hanya seorang diri, dan aku pasti akan mendapat konsekwensi. Tapi aku tak mau berdiplomasi untuk menyenangkan hati orang-orang yang ada disini sedang hatiku berada di tempat lain.
“Setelah hatiku menderita sekian lama, aku harus melatihnya lagi. Dengan pengorbanan aku baru bisa mendapatkan sifatku ini. Aku tak mau membohongi diriku sendiri lebih jauh meski ada yang memberiku jaminan sesuatu yang baik pasti akan terjadi padaku. Kukatakan bahwa aku tetap pada keyakinanku.”
Bukankah untuk jadi bagian dalam sejarah, kita harus bergabung dengan kemajuan dan mengendarai kendaraan yang tengah melaju kencang? Aku bosan hanya menjadi sisi dan pemantau saja. Aku ingin mengejar kesempurnaan untuk membesarkan jiwaku. Bagiku hanya jalan itu untuk menuju kesuksesan yang tak akan datang dengan sendirinya.
Dan suatu saat nanti ketika telah tiba waktunya, tak peduli seberapa jauh aku terpisah, aku akan pulang kerumah untuk merayakan kemenanganku. Karena itu, menurutku aku harus pergi dan tak akan meninggalkan sedikitpun bagian diriku disini.
Dan bila kemenangan itu tak sampai padaku, disebabkan ajal yang lebih cepat memanggil, aku tak akan mati dalam penyesalan.
“Dari mana asalku, bagai berkata bagaimana aku mencintai. Bagai berkata aku semakin tua.”
“Bagi seorang bocah seperti aku, aku tak pernah bisa mengejar hidup demi diri ku sendiri saja. Karena itu aku ingin mati sebagai seorang pria yang telah menjalani hidupnya dengan penuh tekad. Aku ingin jadi diriku sendiri dengan caraku sendiri.”
Aku hanya ingin mencari musuh yang sepadan, dengan begitu tujuan akan segera tercapai. Apa aku kuat? Itulah yang ingin kuketahui dengan melawan orang-orang yang kuat disana.
Aku tak ingin hanya bekerja. Juga bukan hanya main-main. Keinginanku tak serendah itu. Aku ingin perang. Aku tak ingin berdamai, perdamaian hanya untuk wanita dan orang lemah. Aku ingin mengorbankan peperangan dan memenangkannya. Karena aku lebih menyukai musuh-musuh yang aku benci daripada teman-teman yang ku hina. Aku bangga terhadap mereka para musuhku, bukan merendahkan teman-temanku.
“Apa gunanya hidup panjang? Prajurit mana yang ingin dikasihani? Sungguh, bila seperti itu yang namanya hidup, seakan-akan tangan lembut membawakan sebuah peti mati bagiku.”
Aku tidak ingin menuruti kata-kata orang lain lagi, akan kudapatkan keinginanku dengan caraku sendiri, aku akan melampuhi kekecewaan dengan caraku sendiri. Sebab aku tidak punya waktu untuk santai-santai, dan mengobrol dan membayangkan tentang masa depan begitu. Kedungunan juga ada batasnya. Meski sebenarnya aku ingin lebih lama lagi bersama yang lain. Tapi kalau cuma menunggu, aku akan diserang penderitaan yang lebih besar lagi. Dan kalau mati sekarang tanpa melakukan apapun, tidak ada cita cita atau apapun itu.
“Bergantung pada orang lain, organisasi, keluarga, dan nama, itu membatawsi kita dan menekan wadah kita. Bagiku itu hal yang harus dihilangkan. Lalu kebodohan karena merasa takut dan benci pada sesuatu yang belum terlihat dan belum diketahui. Kita tak bisa menjawab semua masalah dan tuntutan. Serta berpura-pura akan mampu memuaskan semua orang. Seharusnya kalian membunuh hal seperti itu untuk mendekati ketinggian. Wadahku, merasa putus asa dengan keluarga yang menggelikan seperti itu.”
Ketika aku mendengar cerita tentang asal-usul keluargaku, aku merasakan suatu perasaan yang aneh, gembira dan merasa kuat. Aku berfikir bahwa aku adalah orang yang istimewa. ‘Aku bukan manusia biasa lagi. Tapi sesuatu yang berbeda.’
Aku ingin melepaskan semua perasaanku agar diketahui orang lain. Aku rela bila harus meninggalkan semuanya untuk mendapat kuasa terhebat yang ingin aku lihat. Ya seperti raja yang di cintai rakyatnya, aku ingin mendapatkan semuanya dengan mudah.
Karena aku tak mau impianku cuma jadi mimpi. Aku tak mau terbuai dengan realitas diriku sendiri. Tapi, yang mendorongku keluar dari negeriku, bukan karena lapar seperti yang kalian kira, tapi aku adalah manusia yang tak suka berada dalam kehinaan. Dan aku sangat paham, bahwa tak ada darah yang lebih manis dan lebih enak dari darah orang-orang asing!
Benda yang punya wujud suatu saat akan busuk. Manusia juga sama. “Tapi, apa perasaan yang menggangguku ini juga hanya akan membusuk disaat aku sudah mati saja? Setiap saat aku hanya ingin melukai diriku sendiri agar merasa lebih baik. Tapi kalaupun bisa, aku juga takut akan kesedihan yang tersisa.”
Belum ada Komentar
Posting Komentar