Sayap-Sayap Patah
Aku adalah seorang pelajar yang kerjaannya berpetualang keseluruh pelosok dunia maya. Dari sana, aku mengumpulkan berbagai ilmu dan menerapkanya dalam kehidupan. Sehingga aku punya pandangan tersendiri tentang segala sesuatu. Rangkuman ilmu itu menghasilkan sebuah ilmu baru yang menjadi ciri khas cara berpikirku. Dalam apapun, bukan lagi dalam hal agama, lebih dari itu.
Tapi benar apa kata orang, lebih baik mengetahui sedikit dari pada yang banyak. Karena banyak itu akan membingungkan. Sebab kita belum butuh hal-hal yang tak perlu untuk diketahui sekarang. Dan sejak itulah aku melakukan pergumulan panjang dalam pikiranku sendiri. Akhirnya aku kesepian.
“Kesepian yang membuatku terobsesi selama masa mudaku bukan disebabkan oleh kekurangan hiburan, karena aku menikmatinya. Bukan juga diakibatkan oleh kekurangan teman, karena aku telah menemukannya. Namun kesepian itu disebabkan oleh sebuah penyakit batin yang ringan yang membuatku mencintai kesunyian. la membunuh kesenanganku pada permainan dan hiburan. la memindahkan sayap masa mudaku dari bahuku. la membuatku seperti satu pon air di antara gunung-gunung yang dalam permukaan tenangnya yang menampakkan bayang-bayang hantu dan warna-warna awan-awan dan pohon-pohon. Namun aku tak bisa menemukan sebuah jalan keluar untuk menuju samudera.
Itulah kehidupanku sebelum aku berusia delapan belas tahun. Tahun tersebut seperti puncak gunung dalam hidupku. Karena ia membangunkan pengetahuan tentang diriku dan membuatku mengerti tentang perubahan manusia. Di tahun tersebut aku dilahirkan kembali dan jika seseorang tidak dilahirkan lagi maka sisa hidupnya akan seperti lembaran kosong dalam buku kehidupan. Di tahun tersebut aku melihat malaikat-malaikat surga memandangku melalui sepasang mata seorang perempuan cantik. Aku juga melihat setan-setan dari neraka mengamuk dalam hati seorang manusia jahat, yang tidak melihat malaikat-malaikat dan setan-setan dalam kecantikan dan kebencian hidup yang akan jauh bergeser dari pengetahuan. Dan semangatnya akan jauh dari kasih sayang.” Begitulah kata Khalil Jibran.
Dan, “Akan datang satu masa, hati seorang mukmin cair sebagaimana cairnya timah dalam api disebabkan melihat bala dan peristiwa yang merugikan agamanya tetapi dia tidak mampu merubahnya.” (Aththusi)
Semenjak islam telah menjerat dan menyibukkan hatiku, aku mencintainya lebih dari apapun, hanya pada Allah semata. Dan lidahku tak pernah tergerak untuk selain itu. Aku sudah sedemikian dalam dalam keadaannya. Untuk yang pertama kalinya aku ingin membuka hatiku untuk orang lain. Aku ingin begabung dengan orang-orang islam. Harapanku pada mereka begitu besar, sungguh kali ini aku merasa akan mempunyai banyak teman.
Aku belajar banyak tentang islam, tentang sunnah Nabi dan Al Qur’an. Aku begitu haus dan aku baca semua buku-buku islam. Aku juga membaca banyak buku tentang kesepakatan para ulama dan perselisihannya. Aku simpulkan, bahwa mereka itu, para ulama sepakat bahwa sunnah Nabi dan Qur’an ada pada ulama-ulama yang berada di jalan Allah, dan para fuqaha’, yang mencari jalan Allah, yang beramal mengharapkan ridha Allah, meninggalkan larangan-Nya cinta pada Rasul dan lebih memilih akhirat. Sehingga aku sangat ingin bertemu dan berteman dengan mereka agar aku bisa mengambil pelajaran dari mereka. Karena aku sangat yakin kalau ini adalah jalan yang benar.
Tapi kebangaanku pada ilmu tak cukup hanya dengan membaca buku-buku agama Islam saja.
Kita juga harus banyak belajar dari ilmu pengetahuan dan berbagai ajaran yang ada. Menurutku kita juga harus mempelajari filsafat dari para pemikir Barat dan Timur seperti; Nietzche, Descartes, Existence, Sartre, Foucault dan Bacon, juga Sidharta Gautma, Kahlil Gibran, Musasi, Yahudi, Syekh Siti Jennar dan sebagainya untuk tujuan perbandingan. Juga dalam artikel-artikel yang melenceng dari Islam arus utama.
Bukan untuk ikut-ikut paham mereka, karena islam telah menggariskan seorang Muslim harus memiliki worldview dan framework tersendiri dalam berfikir.
Bukan untuk tertegun dengan konsep ‘cogito ergo sum’nya Descartes, atau ‘existence preceeds essence’nya Sartre, atau ‘knowledge is power’nya Foucault dan Bacon, dalam perkara tertentu kita bukan untuk langsung tertarik mengagungkan contohnya Locke karena konsep natural rights: life, liberty and property, bukan untuk beralih jadi biksu karena ajaran Sidharta, bukan untuk mengikuti Nietzche jadi Atheis, bukan untuk menganggap Tuhan dan manusia satu; seperti pemahaman orang akan apa yang di katakan Syekh Siti Jenar, bukan menganggap bahwa berbagai fenomena sosial didunia ini hanyalah respons atas perkembangan ekonomi tanpa ada nilai-nilai tetap di dalamnya seperti yang dikatakan Marx dan para filosof Amerika; karena akhlak yang baik adalah kehendak Allah dalam hubungan antara satu makhluk dengan makhluk lainnya. Namun untuk mengetahui bahwa semua hasil pikir diluar islam dengan rasionalismenya tidak akan menemukan jalan kebenaran.
Bukan untuk teradikalisasi dengan membaca artikel arus Islam yang melenceng,‘tidak berarti juga aku akan segera melakukan bom bunuh diri karena melihat ketidak benaran yang terjadi,’ maka dengan begitu akan kita mendapati bahwa semakin jauh pengetahuan terhadap hal-hal semacam itu semakin dekat diri kita terhadap kebenaran Islam. Menurutku, kita harus mempelajari filsafat-filsafat luar untuk perbandingan dan penilaian sebelum menyumbang dalam wacana keintelektualan Islam. ‘Dan apa salahnya memperkaya jiwa dengan membaca karya-karya sastra.’
“Aku mempelajari pemikiran luar untuk memahami mereka. Dengan demikian aku dapat memperkukuh keyakinanku dan kalau aku mampu, seperti yang telah dilakukan oleh Imam Al-Ghazali, membatalkan tesis-tesis mereka yang mengelirukan dan dengan itu aku telah berjuang untuk Islam. Dan juga bukankah lebih baik menangkap dan menafsirkan ide-ide orang lain yang kemudian disesuaikan dengan kebutuhan dari pada membasminya? Meskipun buatan The Elder of Sion, maka akan jadi benar apa yang tertulis dalam Protokol Zionisme.
Bukankah islam itu mengajarkan agar mengambil hikmah/kebijaksanaan dari mana saja datangnya. Oleh karenanya tidak salah, malah seharusnya digalakkan dalam mempelajari Sains dan Teknologi yang hari ini dikuasai oleh Barat agar dengannya ummat ini dapat mengecapi kemajuan dan merealisasikan misinya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Bukan justru hadir dalam majelis yang membacakan Yaasin untuk orang mati saja.”
‘The birth of Islam is the birth of inductive knowledge’.
Juga seperti diungkapkan oleh al-Ghazali dan al-Shatibi bahwa hukum Islam sebenarnya dibuat untuk melindungi kemaslahatan/kebaikan ummat manusia, agama, jiwa, akal, kehormatan dan harta.
***
Ketika memasuki dunia Kuliah, aku ingin belajar mengenal penciptaan secara natural dengan tumbuh di lingkungan orang-orang yang melakukan ibadah dan bermasyarakat yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga aku merasa beribadah kepada Allah adalah hal yang biasa, yang memang seharusnya dilakukan oleh manusia.
Tapi “seolah Tuhan telah mencantumkan segalanya. Ketika aku melihat, semuanya berubah. Semua terjadi tiba-tiba, seolah semua menghilang.” Aku mengalami sejumlah peristiwa yang kemudian membuatnya mengalami kejutan budaya. Aku terpukul oleh fenomena kebebasan yang menyeruak dalam masyarakat baruku. Hal ini membuatku semakin religius dan yakin bahwa masyarakatku tengah berjalan menuju kehancuran.
Apalagi pendidikan di universitas tempatku belajar tidak banyak memberi sentuhan moral dan agama bagi mahasiswanya, tidak ada pengisi bagi jiwa/hati. Apabila sesuatu terjadi di luar kemampuan mereka, teman-teman yang sebaya denganku tidak mempunyai pegangan dan terlempar ke keterpurukan jiwa.
Bagaimana tidak, mata kuliah keagamaan hanya diberlakukan 1 jam dalam seminggu. Sedang yang lain adalah pelajaran-pelajaran sekuler. Saat itu aku sudah merasa berada di tengah dunia lain. Dunia sekuler. Dunia yang jauh dari Al-Qur’an dan Sunnah. Dunia yang jauh dari Islam. Dunia yang sangat dekat bahkan terkurung oleh sumber dari segala sumber hukum yang berlaku. Dunia astung.
“Aku heran dengan diriku sendiri, padahal aku tak pernah mengalami ketidak-beresan semacam ini. Aku tak pernah mempermasalahkan ini sebelumnya.”
Mataku juga telah berubah dalam memandang sekelilingku. Aku temukan teman-temanku yang perempuan, yang menutup rapat badannya (memakai jilbab-red) tidak lebih baik daripada mereka yang memamerkannya. Bukankah dua-duanya berada pada kesadaran lahiriyah? Mereka asyik terjun dalam hingar bingar budaya Barat. Mulai dari kebebasan berekspresi dan bercinta (pacaran-red), berbusana, bertingkah-laku, juga pergaulan bebas antara lelaki perempuan yang tanpa batas.
Aku kecewa karena aku merasa tidak bisa menemukan lagi tempat yang sesungguhnya didunia ini. Aku bertanya-tanya dalam hati, apa kiranya reaksi yang mesti ku lakukan?
“Aku sendiri merasa akan ada kendala teknis dari pendekatan ini secara pribadi. Padahal aku sendiri sangat ingin menikah, tapi kalau sudah begini aku tak bisa yakin pada akhirnya aku akan mendapatkan seorang istri yang baik.”
‘Jika kalian sudah berjilbab itu adalah tanda sebuah komitmen, agar kalian terlindungi dan aman. Bukankah islam telah menggariskan jika kalian harus menutup aurat kalian? Bukan hanya sekedar membungkusnya, hingga tertampang lekuk tubuh kalian. Apakah kalian tak suka berhati-hati menjaga diri dan bertanggung jawab? Apa kalian lebih suka menarik lelaki untuk mendekati kalian, dan akhirnya menarik untuk melakukan hubungan terlarang, atau bahkan merenggut kehormatan kalian?
Apakah bila kalian tanpa kendali terjerumus dalam hubungan-hubungan yang tak sah, maka secara logis bisa diterima jika kemudian hubungan-hubungan itu lebih banyak menimbulkan kerugian bagi kalian sendiri? Memangnya kalau kalian ditinggalkan oleh pacar kalian setelah kalian hamil, kalian bisa melapor kepolisi atau menuntut ke pengadilan? Oh tidak. Inilah yang kemudian mengakibatkan kalian depresi. Kalian menjadi buta dan tuli. Artinya, karena hawa nafsu itulah kalian kemudian tidak bisa lagi mendengar kebenaran. Atau dengan kata lain kalian adalah orang yang sangat lalai.’
Aku kecewa. Aku benar-benar tak menemukan lagi nilai keagamaan.
“Kenapa kalian meninggalkan Tuhan? Bukankah ini adalah sia-sia.”
“Apa itu memang sudah ketetapan dari Allah SWT akibat kelakuan kalian sendiri? Kalian bangga dengan apa yang kalian pertontonkan. Padahal, dari perbuatan yang seperti itulah kalian telah berbuat kesalahan yang berakibat fatal bagi diri kalian sendiri.”
“Mengapa kalian hanya mengikuti barat dalam hal kemerosotan moralnya, pergaulannya? Kalian beralasan bahwa bila tak mengikutinya, kalian akan tertinggal. Mengapa kalian tak sadar bahwa yang dinamakan kemajuan itu hanya dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi? Mengapa bukan kedua hal itu yang kalian ikuti? Padahal mereka justru lebih menghargai kita terhadap suatu masyarakat yang berpegang teguh dengan adat istiadatnya sendiri.
Mengapa kalian justru memisahkan diri (tak mengikuti-red) dari orang-orang Barat dari bidang sains dan produksi benda-benda? Padahal umat ini sekarang tidak punya kemampuan berdasarkan faktor ini; karena kemajuan mereka di faktor ini telah terlalu jauh mendahului kita dan memanglah tidak bisa diharapkan. Bukankah seharusnya hal ini yang harus di ikuti? Kalian ini, sungguh adalah keberadaan besar yang tak berkembang.”
Aku duduk dan bersandar di pohon cemara di taman dan kemarahanku kembali mengetuk. “Kalian ini tak tahu apa-apa tapi berlaku seenaknya. Apa kurang jelas kenikmatan yang ditawarkan dalam islam? Aku ini beda dengan kalian yang tak merasakan kesedihan dan tertawa seenaknya.”
Aku sudah berusaha mati-matian sebelum islam. Sudah seberapa kata-kata yang ku keluarkan, kerasnya usahaku, tapi aku harus menyadari bahwa kenyataanya kalau aku melawan orang banyak, aku yang lemah ini akan kalah.
“Hendaklah kamu beramar ma'ruf (menyuruh berbuat baik) dan bernahi mungkar (melarang berbuat jahat). Kalau tidak, maka Allah akan menguasakan atasmu orang-orang yang paling jahat di antara kamu, kemudian orang-orang yang baik- baik di antara kamu berdo'a dan tidak dikabulkan (do'a mereka).”
Apakah ada cara lain selain menahan bicara? Aku sadar, aku bukan siapa-siapa untuk mengatakan kebenaran. Sebab aku masih terantai pada bumi. Masih seperti ini dan begini. Ah, andai saja aku berkedudukan tinggi, bila saja sudah memegang tampuk kendali, aku pastinya tak akan jadi orang lemah lagi. Dan itu sudah cukup untuk menjadikanku percaya diri dan berani dalam mengekspresikan diriku.
‘KITA ingat, dulu kedatangan Nabi di Makkah ditunggu-tunggu banyak orang. Tapi ketika Nabi Muhammad datang, hanya sedikit yang menjadi pengikutnya. Bahkan ada yang enggan jadi pengikut nabi, meskipun hatinya membenarkan kerasulannya. Padahal sebelumnya beliau adalah orang yang terkenal dengan kejujurannya dan di beri gelar Al-Amin oleh masyarakatnya. Andai saja dulu Rasulullah saw. orang dengan jabatan dan kekayaan, menambahnya terpandang dan terhormat di kalangan kaum Quraisy, maka bisa lain yang terjadi.’
“Andaikan aku hebat, aku bisa lakukan banyak hal yang tak mungkin.”
“Bila keadaan seperti ini terus, aku benar-benar ingin menjadi dewa dunia ini. Ketika aku berada dipuncak dunia, keadaan tak akan seperti ini. Dan jika aku telah mati, aku masih bisa melakukan apapun yang kumau. Bahkan aku juga bisa menghentikan perang.
Yah, seperti halnya lautan, ia tak akan kering meskipun kita memintanya. Lautlah yang memberiku sebuah visi yang jelas, dan seperti birunya laut itu adalah harapanku; yang apabila keduanya bertemu akan menghasilkan kekuatan seperti yang dihasilkan oleh atom yang pecah.
Dan itulah cita-citaku. Mungkin itu mustahil, tapi aku tak peduli. Karena bila aku terus tak berpegang pada apapun, aku akan selalu lemah. Sebab aku bukan orang yang selalu pandai berdiam diri. Aku sudah tak tahan dengan dunia yang seperti ini.
Dan cita-citaku juga bukan segala sesuatu yang abstrak, bukan seperti pengalaman mistis anak manusia dan sebuah mimpi disetiap malam di tidurnya. Dan harapanku bukanlah sebuah hasrat atau sebuah keinginan seperti milik pemimpi. Cita-citaku adalah peta jalanku yang detail untuk menuju kesana. Yang mengubah langkah-lankahku menjadi tugas, dan harapanku adalah gambaran tujuan puncakku.”
Dan andai saja sekarang ini aku dilahirkan dalam keadaan punya kuasa tak terbatas, aku tak akan menahan semua ini.
“Wahai para penduduk bumi! Mengapa kalian tak menangis hingga kering air mata kalian oleh sebab kalalaian dengan agama kalian? Apakah tak ada penyeru untuk kalian kembali pada urusan agama kalian? Justru kalian jadikan agama ini sebagai permainan. Ketahuilah, yang ada pada diri kalian adalah bualan, dusta, kebohongan, penipuan, pengkhianatan, kedurjanaan, atau karat di sebilah pedang. Ketahuilah! Sungguh buruk murka Allah yang kalian pilih untuk kalian. Kalian pasti akan menangis dan mengumpat diri kalian sendiri!"
Begitulah, terlalu banyak dari mereka yang menjadi islam semenjak lahir ternyata lebih liberal dari orang yang berangkat dari kekafiran. Hal ini menandai kegelisahan hatiku terhadap mayoritas umat Islam yang lebih condong liberal. Sikap liberal umat Islam pada agama telah memicu meningkatnya kebencianku.
“Itulah mengapa aku tak suka ikut duduk dengan banyak orang. Sebab jika terjadi hal-hal yang tak memuaskanku, hanya akan menjadi gunjingan panjang yang tak berkesudahan.”
Bukankah seharusnya mereka lebih tahu dan tak terseret ajaran sekuler yang memisahkan aturan Tuhan tentang keduniaan dan aturan ibadah. Dan memang seharusnya mereka yang lebih dulu memberikan hak kaisar kepada kaisar (urusan keduniaan) dan hak Tuhan kepada Tuhan (urusan ibadah). Tapi mereka ternyata tak memandang betapa besar yang mereka durhakai.
Sungguh mereka juga telah korupsi dalam memahami Islam. Islam telah di salah fahami oleh sebagian dari mereka yang anti kemajuan dan anti perubahan. Tetapi juga di sudut yang lain, Islam telah disalah fahami oleh sebagian golongan Muslim sekular yang menganggap agama sebagai penyebab kemunduran, oleh karenanya, menurut mereka agama perlu dibatasi hanya pada ruang lingkup kehidupan peribadi.
“Agama Islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya. Sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan”,
“Digul lebih utama daripada Makkah, Buanglah Ka’bah dan jadikanlah Demak itu Kamu Punya Kiblat!”
Itulah yang mereka lakukan. Itulah yang mereka katakan. Mereka telah terlalu jauh meninggalkan islam. Mereka telah mengecewakan orang-orang seperti aku. Bagi mereka islam hanya lah pengenal mereka. Bukan lagi sebuah pedoman hidup seperti pikiran orang-orang macam aku. ‘Duhai kapan aku bisa menuju dunia yang sama sekali baru?’
“Bagaimana aku tidak merasa marah, mereka mengkhiyanatiku. Mereka yang mengaku muslim justru mencuri budi, melepaskan hati kepada seseorang dalam melakukan kebaikan, dan kadang-kadang menginginkan keduniaan yang banyak. Dan apakah salah bila aku membenci, sebab ia yang hanya berdiam diri ketika dikhiyanati adalah orang yang memiliki keingingan dan harga diri yang rendah.”
“Wahai penduduk Bumi! Wahai para penipu, pengkhianat, dan pelaku makar. Apa perkara Tuhan kalian lebih kecil dari perkara kalian? Apa kalian tak memiliki kecintaan terhadap iman dan kebencian pada kerendahan? Apa terhadap-Nya kalian tak berhati-hati? Kapan kalian semua akan melempar jauh diri kalian sendiri dari kehinaan? Kalian tahu, kalian ini mengacaukan segalanya karena kebanyakan main.
Apakah kalian ini tak takut kalau nanti ketika jasad kita ini sudah terbujur menjadi mayat, lalu diusung ke kubur, sedang malaikat menunjuk-nunjuk jasad kita dengan berucap: ‘Ya Allah, inilah jasad orang yang ketika hidupnya menolak syari’at-Mu.’
Dan karena kalian, aku memperoleh ujian berat dari Allah. Tapi aku tetap bersabar karena aku tahu jika ujian ini akan Allah jadikan sebagai kebaikanku; menjadikan pengetahuan dan pemahaman-Nya atasku. Tetapi kalian adalah pendusta, kalian menolak dan ingkar terhadap agama, serta tak beranggapan bahwa hal ini adalah kekeliruan yang nyata-nyata akan merugikan kalian selamanya.
Selain tak bertaqwa kepada Allah, kalian juga tak percaya pada yang ghaib, juga tak menuaikan shalat, infaq, juga tak beriman kepada Al-qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, dan tak yakin kepada hari akhirat. Tapi kalian mengatakan jika kalian sedang mengadakan perbaikan untuk kemajuan. Dan mengira aku orang yang kurang akal. Padahal kalianlah yang melakukan kerusakan dengan kurang akal tersebut. Tapi kalian tak menyadari kalian dalam kerusakan. Dengan dalih demi kemajuan, kalian berkata bila kalian menyalakan api untuk menerangi sekelilingnya. Tapi tidakkah kalian tahu, Allah akan melenyapkan cahaya yang menyinari itu dan membiarkan kalian dalam kegelapan, tak dapat melihat. Kalian pasti akan celaka.
Dan bersenang-senanglah sekarang, sekiranya Allah masih memberikan karunia dan rahmad-Nya di dunia ini. Karena Allah Maha Penyantun yang masih saja memberikan kalian kesempatan dengan tidak segera menyiksa kalian meskipun kalian sangar durjana. Dan untuk itu kalian harus berterima kasih kepada sebagian yang lain. Karena kalau Allah tidak melindungi sebagian manusia dengan sebagian yang lain, maka hancurlah dunia ini beserta kalian.”
Aku benar-benar tak bisa menikmati sesuatu dalam waktu yang lama. Aku juga bukan seseorang yang bisa menikmati sesuatu seperti orang tua. Perasaanku masih seperti kapas. Dan bila kekecewaan memisahkanku, mengucilkanku, serasa kepedihan datang mencariku. Rasanya lebih sedih dari seorang sandra, lebih terasa kalah dibanding saat aku menyerah dari setan-setan yang menyuruhku bunuh diri.
Padahal belum lama aku merasakan manisnya islam, tapi aku sudah harus meminum pil pahit dari umat islam itu sendiri. Tapi mereka mematahkan sayap-sayapku, membuat kasihku tak sampai pada rasa aman yang ingin aku lihat. Dan aku tak bisa mencari pembenaran, yang aku tahu aku benar-benar kehilangan.
“Oh Tuhan, usiaku belum ada sembilan belas tahun, tapi jemari-jemari pendertitaan sudah menghampiriku. Padahal aku ingin memiliki hubungan yang dalam dengan-Mu, tapi umat-umat-Mu telah menjatuhkanku kedalam kemurungan.” Karenanya aku tak bisa terima dengan keadaan di sekelilingku.
Tapi apakah aku bisa? Walau sama saja berharap atau tidak; sebab mereka yang tak mengalami rasa sakit yang sama tak akan benar-benar mengerti rasa sakit orang lain. Tapi dunia ini tak ada keadilan, saat aku berharap, aku semakin tersungkur jauh kebelakang. Tak ada yang membesarkan hatiku dengan apa yang terjadi padaku. Tak ada yang mendukungku. Aku hanya seorang diri.
Tak seorang pun bisa mengerti
kedalaman dari kepedihan hatiku
Jika orang-orang
yang bisa mencegahku dari menangis,
justru yang membuatku menangis.
Terkadang aku juga ingin menolak dengan cara yang lebih baik, agar orang yang aku benci itu tetap menjadi teman yang sangat setia padaku. Sebab aku juga tak pernah menang dari kesepian. Tapi lagi-lagi, apakah aku mampu?
“Tak ada lagi Nabi setelah Nabi Muhammad. Aku berharap di zaman inilah aku bersama orang-orang yang pertama kali menyaksikan keajaiban Agama Islam. Kitalah orang-orang terdepan yang menyaksikan betapa kuasanya Allah SWT. Karena jiwaku yang tiada kuasa ini, sangat banyak merasakan ramalan-ramalan jahat serta kilapan-kilapan kelabu dimataku.”
***
Aku tak terima melihat keadaan sekelilingku adalah mereka yang “dilahirkan dalam keadaan mati dan orang-orang yang hidup seperti mayat yang dingin”. Dan aku tak bisa terima bila mereka tak lebih orang yang tak tahu kalau mereka tak pernah hidup.
Padahal sangat menyakitkan kalau kita berharap, dan lebih menyakitkan lagi kalau kita peduli, hingga berjanji untuk benar-benar tak peduli lagi. Karena sama saja berharap atau tidak, sebab mereka yang tak mengalami rasa sakit yang sama tak akan benar-benar mengerti rasa sakit orang lain.
‘Dunia ini tak ada keadilan’, itulah yang selalu aku pikirkan.
“Jika kau selalu berharap, kau hanya akan semakin tersungkur jauh kebelakang. Disini tak ada yang membesarkan hatimu dengan apa yang akan kamu lakukan. Tak ada yang mendukungmu. Sebab kamu itu hanya seorang diri, sedang mereka berjumlah banyak.” Setan-setan itu ikut menegaskannya.
Tapi “Seekor domba yang pasrah menjadi makanan serigala di malam hari, akan tetap pasrah. Tapi darahnya akan tetap menempel dibebatuan lembah selamanya”. Karena aku juga ingin menolak dengan cara yang lebih baik, agar orang yangku benci itu tetap menjadi teman yang sangat setia padaku. Sebab aku tak pernah menang dari kesepian.
“Tapi kau tidak tumbuh besar di tengah-tengah masyarakat Muslim, aku yakin akan sulit bagimu untuk membangun hubungan antar manusia.” Setan-setan menolaknya.
“Ya, itu benar. Ini bukanlah seperti apa yang aku inginkan, mereka meleparkan sebuah kepedihan kedalam keinginanku. Dan siapa yang bisa menentukan apa yang ku rasakan selain diriku sendiri? Rasanya ingin mati saja, aku tak bisa bersandar pada masa ini seterusnya.”
Harapanku, ketundukan mereka pada Allah yang ku cari, agar aku bisa terlibat didalam pergaulan dengan mereka dan memperoleh keuntungan, adalah hal ingin aku buat sebagai penyita perhatianku. Aku ingin merasakan keirian kepada mereka yang memiliki pengetahuan tentang Al-Qur’an dan diamalkannya sepanjang malam dan siang; dan ia yang dianugerahi Allah swt harta, kemudian dia menafkahkannya sepanjang malam dan siang. Tapi waktu berlalu bagaikan angin lalu, meninggalkan banyak harapan.
Aku menanyakan, “Apa selama dunia ini ada, dunia akan menciptakan makhluk seperti mereka?” Begitulah, memang menyakitkan. Bertekuk lutut didepan kekuatan yang tak bisa kita ubah dan menyadari ketidak-mampuan kita.
Aku melihat kesombongan dalam kalbu mereka. Padahal tidaklah patut bagi mereka membanggakan sesuatu yang tidak diciptakannya-diamanahkan oleh Allah swt padanya. Aku takut takkala Allah nanti juga menutup hatiku. Dan sekali-kali tidak demikian, bila ada yang menghiburku jika aku akan terlepas dari dunia terkutuk ini hanya untuk menghibur diriku.
“Sekali-kali tidak (demikian), sesungguhnya apa yang selalu mereka lakukan telah membuat hati mereka kelam (tertutupi dari nur Allah). Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari ini benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan.” (Q.s. Al-Muthafifin:14-15).
Bila setan membisikkan rayuaannya untuk membuat kita terhenti dari rasa takut pada Allah, yang mengatakan bahwa susungguhnya ayat itu hanya berkaitan dengan orang kafir saja, justru sebaliknya. Aku takut Allah juga akan murka padaku, karena Allah tidak memberi jaminan kepada sebagian besar kaum Mukmin [bahwa merka terlepas dari kedua hal tersebut]. Aku tahu seberapa kuat Allah itu. Aku tahu aku tak punya jaminan hidup ditempat ini dengan kesempatan lain. Aku mengerti situasinya.
“Bagaimana kalau Allah lantas menarik semua itu dariku dan menimpakkan cobaan dengan segala kebalikannya; terus menerus dalam kelalaian, sering lupa, ketertutupan mata hati, dengan meremehkan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan sunnah-sunnah yang dijanjikan surga? Bagaima bila aku terombang-ambing lagi sambil mencari jalan kembali, namun tak ada jalan bagiku untuk kembali dalam kebenaran yang telah kutemukan?
Bagaimana aku tidak akan merasa takut dengan bencana yang ditimpakkan Allah ini-dalam bentuk kehinaan dan keniscayaan, keterasingan dan adanya jarak, setelah mendapatkan kebenaran, kepatuhan dan kesigapan menyambut seruan? Bagaimana aku tidak merasa dalam kesedihan, sedang hatiku disibukkan dengan tuntutan-tuntutan kepada Allah dan masih membutuhkannya?”
Kesedihan dalam hatiku tak pernah berhenti melihat perilaku umat islam.
‘Karena mereka, aku merasa akan kesulitan jika aku menjadi seorang guru dan pendakwah.
Karena mereka, aku merasa akan kesulitan jika aku menjadi pendidik para pemuda pada waktu siang, malam dan waktu cuti.
Karena mereka, aku merasa akan kesulitan jika aku mengajak keluarga mereka mengamalkan cara hidup Islam dan menunjukkan kepada mereka jalan untuk mendapatkan kegembiraan dan kebahagiaan hidup yang sebenar.
Karena mereka, aku merasa akan kesulitan jika aku menggunakan cara-cara yang paling baik yang termampu olehku untuk mencapai tujuan ini melalui syarahan, penulisan dan pengembaraan di jalan raya dan lorong-lorong.’
Kenapa?
‘Bukan karena aku takut, atau lemah. Tapi aku tidak kuat melawan mereka sendirian.’
“Aku jadi tak mengerti kenapa mereka hidup. Siapa mereka dan mengapa mereka membenci agama ini.
Dan merekalah yang mengujiku dengan pengabaian mereka terhadap Allah, terhadap harta mereka dan terhadap diriku. Dan aku mendengar banyak hal yang sangat menyakitkan hatiku dari mereka yang telah diberi peringatan dari Nabi Muhammad dan dari orang-orang munafik.”
Dan kesedihan dalam hatiku tak pernah berhenti melihat perilaku umat islam, juga kekhawatiran dalam hatiku terhadap mereka. Aku pernah kehilangan kekasih dan orang tua. Aku hanya tak mau lagi, melihat hal yang berharga bagiku hilang di hadapanku lagi. Terlebih aku melihat agama adalah keberadaan yang tak di inginkan manusia.
“Duhai kalian yang dilahirkan dalam keadaan islam, mengapa kalian merasa tentram begitu saja, sedang kalian melalaikan urusan agama kalian, sedang Allah memperingatkan kalian bila kelalaian adalah salah satu rukun dari kekafiran? Mengapa kalian merasa tenang sedang kekuasaan halusinasi dan kemauan nafsu menguasai kaliaan, sedang kalian akan menemui kesesatan?
Manusia seperti kalian ini bukanlah orang yang ingin kukenal. Apa kalian tak tahu seberapa kuat Allah itu? Apa jaminannya kalau kalian masih hidup dengan menunggu kesempatan lain? Kalian tak mengerti situaasinya karena kesombongan itu.
Kalian yang menggantungkan nasib agama ini pada masa depan yang tak pasti dengan berpikir tahun depan juga masih ada waktu untuk bertobat, kemudian menyerahkan kesempatan hidup kali ini begitu saja adalah orang bodoh yang biasanya cuma bisa mengambil keputusan seperti itu, sama sekali telah menyia-nyiakan hak untuk hidup. Apa kalian semua tak bisa berhenti memberikan tontonan yang menyedihkan padaku?
‘Duhai sekalipun ada sungai-sungai yang mengalir daripadanya. Ada pula batu yang terbelah dan mengalir daripadanya. Dan ada pula yang meluncur dari gunung-gunung dan terhanyut kesungai.
Kalian selalu berkata kalau neraka tak akan menyentuh kalian atau kecuali beberapa hari saja. Sudahkah kalian menerima janji dari Allah, dan tak akan diingkari-Nya? Atau kalian mengatakan sesuatu hanya dari praduga kalian? Sungguh Nabi pun tidak akan dimintai pertanggung jawaban tentang penghuni neraka. Dia hanya memberikan kabar gembira dan pemberi peringatan.’
Ya Allah, aku malu kepada-Mu dan Rasul-Mu atas agama-Mu, kehormatan Nabi yang di lalaikan oleh Umat-Mu sendiri. Ya Rasul, Maafkan aku yang hanya bisa mengutuki mereka.”
Aku merasa tidak terima akan perlakuan orang dan menyimpan perasaan tidak puas pada orang-orang tersebut. Aku merasakannya. Aku mengendalikannya seorang diri. Begitu besar kekecewaan dalam hatiku memunculkan dendam yang begitu besar yang tanpa ku sadari akhirnya malah menjadikan diriku sendiri lepas kontrol dan penuh gejolak emosi. Seakan alam bawah sadarku mengarahkan jalannya untuk memunculkan karakter seperti itu.
Mengapa? Sekiranya kebenaran tak berbekas lagi padaku, aku merasa berjalan dalam kegelapan. Aku tersesat dalam rimba yang tak ada jalan setapak untuk dilalui.
“Semenjak aku berada dalam jalan-Nya, tak ada lagi yang bisa aku percaya. Itu seperti neraka. Rasanya seperti kutukan. Apabila aku berada diatas sana, aku temukan diriku selalu sendirian. Aku hanya bisa mendengar kesedihan. Tak ada yang bisa aku ajak bicara. Semakin aku tinggi, aku semakin kedinginan.”
“Aku tahu diriku dan perasaanku. Kalian membelokkan ku dari kebenaran yang sudah datang padaku. Padahal untuk masing-masing dari kita semua telah ditetapkan aturan dan jalan.
Kalian menyakiti hatiku tanpa kesalahan yang aku perbuat. Kalian lah yang mengasingkanku selama bertahun tahun. Menyakitkan, sangat menyedihkan. Mengapa kalian menyakitiku terlalu banyak? Apa kalian suka memikul kebohongan dan dosa yang nyata?”
Kali ini aku benar-benar tak bisa banyak mulut dengan mengatakan aku tak peduli pada hal yang mereka lakukan. Aku menyesal setiap saat.
“Walau mempunyai mata ini, aku sama sekali tak bisa melihat masa depan.”
Aku tersesat dalam kabut. Aku tak mampu menemukan tempat seharusnya kuberada. Aku tak tahu manusia seperti apa aku yang sebenarnya.
“Sepertinya semua hal yang telah aku lakukan adalah kesalahan. Aku merasa menanggung banyak sekali beban. Aku tak bisa menentukan sendiri apa yang perlu untukku atau yang tidak. Keberadaanku terengut. Seluruh hubunganku terengut. Dan akhirnya hidupku juga terengut. Ada luka dalam hatiku, tidak luka, tidak ada darahnya, tapi sangat sakit sekali. Disini. “
Sungguh kedalamanku telah terusik dengan kebencian dan mosnter-monster yang berenang kesana-kemari. Dalam hatiku ada perselisihan rasa dan perasaan yang merasakan.
“Tidakkah kalian lihat kesinisan dalam mata dan kejijikan yang berpusaran dimulutku? Memang bila kalian lihat aku sedang beristirahat, tapi masih belum dibawah matahari. Tidakkah kalian lihat, aku menutupinya dengan kesombongan? Mengapa?”
Sampai halaman ini aku menganggapa bahwa aku kuat berada dalam keadaan seperti itu, tapi ternyata tidak. Sebenarnya dalam hatiku aku berpikir hanya ingin secepatnya melarikan diri dari tempat ini. Tapi kenapa aku selalu memaksakan diri? Karena menurutku itu kewajiban, aku ingin menunjukkan bahwa anak lelaki itu kuat, meskipun sebenarnya lemah.
Sedikit kata meresahkan jiwaku. Hingga aku tak tertarik lagi bertatap dengan mereka. Aku tak mau lagi terlibat. Aku tak ingin bertemu dengan mereka. Aku sudah bosan menderita dan terlunta-lunta. Aku putus asa akan perubahan mereka untuk menuju kemulyaan. Aku bingung, bahkan aku ingin bunuh diri karena tak kuat melihat kerendahan. Beginilah ”sisi dalam” seorang penderita skizofrenia. Hidupnya dikuasai ”para iblis” di dalam kepalanya yang selalu menyuruhnya bunuh diri. Tapi beruntungya, semua yang ku alami selalu diberi petunjuk untuk mengatasinya tapi di sisi lain membuatku semakin lama dalam kesedihan.
“Ya Tuhan, sangat menyakitkan. Dikala aku hanya bisa bertekuk lutut didepan kekuatan yang tak bisa ku ubah dan menyadari ketidak-mampuanku yang sendirian.
Tuhan, apa Engkau sedang melatihku dalam kondisi sulit semacam ini, dikarenakan Aku tak pernah mengalami sejumlah ketidak-beresan semacam ini? Sebab sudah lebih dari dua tahun Kau membiarkan doa-doaku. Duhai, dalam keadaan diam sekalipun, aku juga tak lebih merasa sama saat mungkin aku berdoa.
Oh Tuhan, aku tak meminta kekayaan dan tak meminta kedudukan untukku sendiri, aku hanya ingin cara dari-Mu. Tolong beritahu aku untuk keluar dari keadaan ini. Karena aku telah rapuh seperti rumah kartu.
Dan apa kesedihanku tak membuat-Mu kasihan padaku? Engkau pasti tahu apa yang terjadi padaku setiap hari. Sebenarnya derita itu ada tidak, mengapa hari-hari yang kulalui begitu sulit?
Ya Allah, pandanglah aku dengan kasih sayang-Mu; jangan kau pandang dosa-dosaku..
Ya Allah, jauhkanlah antara aku dengan iblis yang membisikiku seperti jauhnya antara langit dengan bumi…
Ya Allah, aku sudah lelah menjadi penghujat-Mu, aku sudah muak dengan kedunguanku yang masih saja diperbudak setan..
Ya Allah, betapa teganya engkau menutup pintu hatiku dan mengeraskan hatiku sehingga aku termasuk golongan orang-orang yang engkau sesatkan dan engkau murkai..”
***
Sungguh menyakitkan bila menyadari bila kita hanya seorang diri dan tak ada yang merasa bertanggung jawab atas nasib kita. Aku hidup dalam ketakutan bahwa aku sendirian. Aku tak ingin melakukannya seperti ini. Aku takut semua terlambat.
“Aku merindukan ketinggian yang terbuka. Jiwaku haus akan bintang-bintang.”
Aku terkejut dengan keseharian di lingkungan baruku. Benar, ketika aku berusia pra remaja, sekalipun aku tak menemukan ketidakberesan semacam ini.
Seperti aku yang hidup dalam ketakutan akan kesendirian. Aku takut semua terlambat. Dan ada banyak sekali saat-saat dimana aku tak dapat bergerak sesuai keinginanku. Aku hanya bisa berdiri dengan otot-otot yang kendor dan kehendak-kehendak yang terlepas.
Mungkin, di saat perang, dikala mereka disuruh untuk mengangkat senjata, mereka pasti berkata, “tidak” dengan beralasan bila Tuhan akan menyelamatkan mereka. Bila mereka lapar dan kehausan, mereka percaya Tuhan akan mengirimkan makanan dan minuman. Bila mereka bertarung, mereka beralasan bahwa Tuhan akan menyalahkan musuh mereka.
Mereka tak melakukan apapun dengan mengatakan akan tiba saatnya Tuhan menolong mereka. Karena menurut mereka melindungi diri sendiri dan orang-orang serta menghentikan Tuhan melakukan itu adalah penghinaan bagi-Nya.
“Padahal Tuhan tak akan membantu semua yang kita kerjakan. Semua nasib kita ditentukan oleh diri kita sendiri.”
Mereka seperti budak, disaat mereka diserang, mereka akan bersujud dan memohon, “tolong, jangan pukul aku lagi”. Mereka tetap memelas dan bekerja keras meski selagi mereka dipukuli hingga mati. Padahal orang bebas! Orang dengan harga diri dalam dirinya, dan keluarganya dan bangsanya akan berkata, “jika kau menyentuhku, maka kau akan mati”.
Dan, “Dulu ada orang yang rumahnya terancam banjir. Saat tetangganya datang, tetangganya menyeru dia harus ikut bersamanya.
‘Tidak’, katanya, ‘aku menunggu pertolongan Tuhan’.
Airnya terus meninggi. Seorang pria yang naik unta memanggilnya dan mengatakan, ‘naiklah’, katanya, ‘selamatkan dirimu’.
‘Tidak, aku menunggu pertolongan Tuhan’. Air meninggi hingga atapnya.
Lalu pria dengan perahu datang. Dia masih menolak untuk naik, ‘Aku masih menunggu pertolongan Tuhan’.
Dia tenggelam.
Dan mati.
Saat berhadapan dengan Tuhan, dia sangat marah, ‘Kenapa Kau tak menyelamatkan aku?’, tanyanya.
Tuhan menjawab, ‘Aku telah mengirimkanmu tetangga, Aku telah mengirimu unta, dan telah mengirimu perahu. Sekarang, apa lagi yang kau inginkan?’
Itulah, tak ada keajaiban-keajaiban hari ini. DIA sedang menguji kita. Kita lah yang harus membuat keajaiban kita sendiri.”
Semuanya sia-sia. Aku ingin segera membuang diri dari segala yang pengecut, orang yang selalu khawatir, mendesah, mengeluh, dan, mengais-ngais dan bahkan keuntungan yang terkecil aku pandang menjijikkan dimataku. Aku juga benci kearifan yang memelas; karena sesungguhnya terdapat juga kearifan yang mengembang dalam kegelapan, kearifan bunga malam yang selalu mendesah.
Lebih rendah lagi mereka yang cepat-cepat ingin menyenangkan, yang terbaring pada punggungnya, anak-anak domba. Yang tidak mau mempertahankan dirinya, yang menelan ludah berbisa dan mata-mata jahat, orang yang terlalu sabar yang menerima begitu saja segala macam perlakuan dan sistem hidup, puas dengan apa yang ada; karena seperti itulah sifat seorang budak; semua yang renta dan yang rendah, kabur, mata-mata berkedip, hati-hati tertekan, dan manusia palsu yang mudah menyerah pada nasib, yang mencium dengan bibir-bibir terbuka dan pengecut.
Merekalah yang masih rentan terhadap berbagai hal didunia yang penuh ilusi, merekalah yang tetap mejalani kehidupan yang rentan, malas-malasan, lemah dan tidak mengacuhkan tata krama sosial sebagai orang merdeka. Inilah sebuah kehidupan dalam kesia-siaan, kehidupan yang tak pantas dibicarakan.
Mereka mengagungkan apa-apa yang tak terhormat disisi Tuhan. Mereka menukar kemulyaan dengan kerendahan dan mereka bangga akan hal itu. Mereka juga terlalu banyak berucap ucapan yang tak berguna. Padahal lebih baik mereka menutup mulut mereka. Maka tak heran bila mereka kalah oleh setan. Padahal Rasulullah telah memberi tahukan pada kita bahwa kunci untuk mengalahkan setan adalah mengunci lidah kecuali untuk segala hal yang baik. (HR. Ath-Thabrani).
“Apa keberadaanku hanya segini saja? Apa keberadaanku hanya bersama orang- orang yang berkeinginan rendah seperti itu? Padahal aku ini tak mau kelemahan. Aku tak suka kemanjaan.
Ini pembodohan. Aku malu akan kebesaran para ulama terdahulu namun generasi hari ini kerdil. Aku meminta maaf pada Al-Hakim Abu Abdillah, As-Sayyid, dan Al- Fudhail bin ‘Iyadh ra, sebab aku merasa kesepian di jalan kebenaran karena agama ini meski banyak dalam jumlah umat tapi sedikit sekali pengikutnya. Dan aku yang telah terpedaya dengan banyaknya orang yang rusak dan mereka telah menggangguku.
Bagaimana tidak? Mereka bangga dengan kebodohannya, meski Tuhan membebaskan semua umat manusia untuk memilih jalannya masing-masing, tapi mereka bangga dengan kekafiran yang ditunjukkan secara nyata, mereka bangga dengan predikat pemalasnya, pembangkangnya, pendosanya, nakalnya, mereka bangga dengan itu semua. Bagaimana aku tak bisa untuk mengabaikannya, sedang kebencian semakin meyeruak dari dalam hatiku?
Padahal semua orang yang mengaku beragama Islam adalah golongan agama yang seharusnya menjadi wakil Tuhan di muka bumi.”
“Aku suka sedih, Islam itu kan nikmat tetapi kadang orang Islam tidak bisa menikmatinya," tegasku prihatin.
Hatiku tak pernah rela bila status islam masih melekat pada orang yang bodoh; mereka hanya akan mendekatkan pada kerugian daripada manfaat yang nyata. Hatiku tak pernah rela bila status islam masih melekat pada orang yang malas; mereka hanya akan mendatangkan kemudharatan tanpa disangka. Dan hatiku tak pernah rela bila status islam masih melekat pada pembohong; mereka hanya akan menjauhkan teman-teman tanpa pernah kusadari.
“Berada diantara orang-orang ini, membuatku kurang beramal kepada Allah. Aku tidak menyukai mereka semua. Karena mereka, Allah telah menimpakanku dengan kegelisahan dan kesedihan.”
Tapi mengapa aku masih berada bersama mereka setiap saat? Karena semua ini sulit dan tak bisa kumengerti. Jika kalian ingin bertanya mengapa, hanya tubuh yang mampu menjawabnya, sebab tubuhlah yang merasakannya. Atau mungkin aku sebagai manusia tak pernah menang dari kesepian. Pantaslah aku menjadi bahan tertawaan karena diri yang bodoh.
Begitulah, dunia ini seakan-akan mimpi dan fiksi. Dunia diselubungi oleh uap warna-warni dihadapan mataku yang kecewa. Inilah suatu kegilaan singkat yang hanya dialami oleh orang yang paling mendertia seperti aku saja.
“Kemanakah aku harus pergi? Aku sudah sangat lemah. Rasa sakti disini, aku hanya bisa menemukan diriku saja.”
***
Tubuhku adalah penyakit. Dan aku sangat antusias dengan kehadiran pengkotbah kematian. Sekiranya aku mampu, aku ingin sekali melepaskan diri dari tubuhku. Karena, aku takut kalau-kalau Allah s.w.t. menurunkan siksa-Nya kepada mereka sedang aku masih saja berada di antaranya.
Kalau sudah begini, apa yang aku kehendaki dalam hatiku, seperti pengharaman minuman keras, mengenai hijab, dan perintah dalam ayat-ayat Al-Quran tak bisa aku temukan kesungguhan. Jika aku tak bisa bersungguh-sungguh melaksanakan kehendak Allah, aku takut Allah tak akan memenuhi apa yang menjadi kehendak hatiku.
Karena aku sadar akan pengertian ketakutanku sebagai perasaan ketiadaan kuasa, padahal hatiku ingin keluar dari labirin nihilisme. Keriangan akan adanya diriku sekarang untuk selamanya, merupakan sublimasi tertinggi dari kehendakku. Kini jiwaku menghendaki kehendakku sendiri, ia ingin memisahkan diri untuk memenangkan dunianya sendiri.
“Karena aku merasakan lapar yang sangat pedih dalam hatiku. Ku sangat rindu ucapan yang abadi. Karena lapar dan kerinduan ini muncul dari suatu tenaga perkasa dari dalam hatiku. Suatu tenaga yang ingin segera menyatakan dirinya tapi tak mau melakukannya karena waktunya tak kunjung tiba. Dan orang-orang yang mati pada hari kelahirannya masih berjalan dan berdiri sebagai sebuah kayu palang dalam jalan kehidupan. Sungguh apa yang membawaku pada tempat diantara orang-orang mati pada hari kelahirannya dan belum dikuburkan itu?” Khalil Jibran.
Sungguh, aku ingin percaya pada diri sendiri, mengatasi sorot mata dengan tegar, dan benar-benar mengenal identitasku. Aku ingin MELAMPAUHI SIAPAPUN JUGA YANG MERASUKI TUBUH INI, DAN MENEMUI DIRIKU YANG BARU. Seperti reinkarnasi yang hidup dalam diriku sebagai keberadaan yang harus ku lampauhi.
Ada kebenaran yang buruk di dunia ini. Tapi terima kasih ku ucapkan pada kalian semua, agama jadi tak terjaga.
Berkatalah temanku, “Jangan kau merisaukan hal itu. Kau harus berubah dan tak memperdulikan semuanya. Sebab kegilaan manusia tiada batasnya. Dan kalau kau terus seperti ini, yang tersisa diakhir penderitaan adalah rasa tak berdaya sendiri dan penyesalan. Dan sesuatu yang pasti akan selesai dengan sendirinya. Maka mulailah membuka diri dan berbaurlah dengan mereka.”
Tapi aku tidak suka cara pandang orang yang seenaknya. “Kalau begitu apa setiap hari harus terus hidup sambil menyembunyikan diri? Apakah harus berdiam diri? Baiklah, aku bisa saja lari dari keadaan ini tapi perlahan-lahan pasti akan jadi seperti mereka. Aku tak bisa jadi orang baik dimana dunia penuh kebusukan. Karena nanti yang tersisa hanyalah rasa sakit dan tak ada yang bisa kulakukan, kematian yang tak berarti, kebencian tanpa rasa sakit yang tak pernah berakhir?
Dunia ini kejam. Dan aku bukanlah orang bodoh. Itu adalah sifat seorang pengecut dan aku tak akan mau disamakan dengan orang yang selalu mengalah dan bersembunyi dalam bayangan seperti itu. Aku lebih memilih mati sekarang dalam hasrat dan kerinduan sebagai tempat keluar dari penderitaan ini, daripada aku hidup dalam putus ada dan rasa bosan.”
“Dunia adalah derita. Keindahannya hanya bayangan maya yang timbul dari budi daya cipta kita. Disinilah kita hidup tanpa arah dan tujuan, seperti warana hitam, putih dan entah hijau ataupun nila sampai kuning. Berpikir apapun serba kurang pas. Hati kita sering menjadi risau, karena kita tak tahu apa yang iblis bisikkan.”
“Namun tetesan air mata dalam sebuah tangisan ini bukanlah suatu tanda kelemahanku, tapi itu semua merupakan suatu komunikasi jiwa dan perasaan terhadap sekitarku.”
“Tapi apa kalian paham yang terjadi denganku? Kalian yang tak mengalami hal yang sama, tak akan benar-benar bisa mengerti dengan baik apa yang kurasakan.”
Keadaanku terasa muak. Aku mempunyai beban yang terlalu berat untuk dilakukan, air mataku tak kunjung berhenti karenanya; akal telah labil dibuatnya; hatiku mulai kropos dicabik-cabik; dan mata mulai gelap menghadapinya.
“Memang bohong kalau aku bilang aku tak kan kesepian. Tapi aku juga sudah bukan generasi yang bisa tetap jadi anak-anak. Aku tak ingin berdamai. Apakah jiwa inginkan perdamaian merasa tenang bila berdamai dengan perusuh? Kalau terus lari dan hidup tanpa berbuat apa apa seperti itu, aku juga tak mau hidup merepotkan seperti itu.
Mereka merusuh keinginanku untuk melihat kebenaran. Mereka merusuh kebenaran dengan berbangga diri menunjukkannya. Apakah predikat perusuh itu mengagumkan?
Aku tak mau bersama orang-orang yang berkeinginan seperti itu. Mereka adalah kualitas bidak yang ditakdirkan mudah mati tapi bermimpi dapat berbuat apa saja menurut keinginan mereka.
“Pada jaman fitnah ini, yang duduk lebih baik daripada yang berdiri, yang berdiri lebih baik dari yang berlari, dan seterusnya. Tiba-tiba aku yang bodoh dan serba lemah berani-beraninya maju ke depan.”
Belum ada Komentar
Posting Komentar