Sebab Aku Burung Fana


Dan seburuk-buruk umatku adalah yang dilahirkan dalam kenikmatan dan dibesarkan dengannya, makanannya sebaik-baik makanan, dia mengenakan pakaian mewah-mewah dan bila berkata tidak benar (tidak jujur). (HR. Ath-Thabrani)
‘Dan karena mereka lah, orang-orang kaya, yang memegang cambuk ketidak-adilan.’
Apabila malam datang, dinginnya tak bisa mengundang kutidur, dan kebencian memaksaku membuka mata dan memikirkan bagaimana mangatasinya. Ditambah lagi kesedihan terhadap kaum miskin. Aku berjalan membawa kedua hal itu sekaligus.
“Mengapa mereka tidak mengangkat senjata untuk merebut hak-hak mereka pada orang-orang yang kaya; dan lebih memilih jalan yang hina dengan merendahkan diri, mengemis dijalan, atau memilih jalan yang salah untuk mendapatkan harta?” Itu yang terkadang juga membuatku benci terhadap kaum miskin.
Rasa-rasa ini mengikuti sampai ketidurku. Bagaimana aku bisa memejamkan mata bila  hatiku masih berdebar-debar, pikiran masih galau? Yang bisa kulakukan hanya membolak-balikkan badan hingga tengah malam.
“Pernah suatu hari, aku melihat seorang yang bertelanjang kaki menjajakan kerupuk dipinggir jalan. Dan tak ada satupun dari orang-orang yang tergerak untuk membeli. Aku  menangis  melihatnya.  Dan  keputusasaan dalam hidup ku datang lagi.
“Aku bertanya padanya, "Kek, kenapa masih saja bekerja di usia yang setua ini?"
Dia menjawab, "Nak...klo gak begini kakek mau makan apa?"
‘Siapa yang paling bisa mengetahui perasaan orang lain selain aku?’ Hingga akhirnya aku berjanji bila suatu saat nanti aku bertemu lagi dengannya untuk kedua kali, aku akan berubah dari keadaanku dan akan menolong orang itu. Tapi apa daya, pertemuanku yang kedua setelah setengah tahun, aku masih seperti ini. Tak berbuah usaha yang kuusahakan untuk merubah nasibku. Tak berubah sedikitpun. Hatiku hancur karena aku telah  mengingkari  janji.  Aku  merasa telah dikecewakan oleh diriku sendiri. Sial, mengapa hanya aku yang merasakan kesedihan seperti ini, mengapa tak ada orang lain yang juga merasakan hingga tergerak untuk menolongnya sehingga kesedihanku bisa sedikit berkurang.’
‘Duhai, alangkah celakanya diriku, karena aku tak mampu menjadi pendukung untuk menyejajarkan keberadaan mereka, memuliakan mereka dan menutup kesedihan mereka. Dan bahkan membiarkan mereka mati tetap dalam keadaan seperti itu. Walaupun kedua mataku bisa melihatnya, tapi badanku tak bisa bergerak membantunya. Padahal ini merupakan amanah yang dibebankan padaku sebagai orang yang perasa dan mengetahui’
Aku lelah sembunyi, menangis dalam sepi. Hingga aku jadi takut akan diriku sendiri. Hatiku sudah dipenuhin kebencian. Aku seperti tersiksa oleh kesalahan bila aku telah melakukan hal yang keliru.
‘Ya Allah, maafkan aku yang cuma bisa menyaksikan. Engkau mencipakan aku untuk berkata yang benar. Tapi karena takut aku jadi tak bisa bicara.
Ya Allah, aku tahu Kau ciptakan aku sebagai saksi yang jujur terhadap kebenaran. Tapi aku cuma bisa bersaksi tanpa bisa berbuat. Padahal Engkau memberikanku hati dan selalu mendengar.’
Aku tak bisa berbuat sesuai kejujuran hatiku. Padahal Engkau perintahkan aku untuk meneguhkan kedudukan umat dan memelihara kesucianku. Tapi apa yang telah aku lakukan? Aku telah menyerikatkan diri dengan orang-orang yang menelantarkan dan tak peduli pada mereka, sehingga aku selalu menyesal dan takut terlambat. Aku telah terhalang mendapat kemuliaan, alangkah celakanya aku yang tak mampu berbuat adil buat mereka.”
“Mengapa hanya itu yang kalian tunjukkan padaku, mengapa ketidak pedulian yang kalian tunjukkan, mengapa? Apa kalian telah dilahirkan dalam keadaan mati? Apa kalian dilahirkan dalam  keadaan sudah  menjadi  mayat,  yang  tak  mampu menjerit dan tak merasakan sakit?
Apakah islam itu adalah ‘budak dan pelayan, apakah kekayaan yang tak memahami kemiskinan, apakah pembantu rumah tangga dan banyak istri’? Apakah Islam berarti ‘istana besar dan gedung-gedung tinggi’? Apakah Islam berarti ‘menghabiskan puasa Ramadhan di Jerman dan berhaji melalui Roma’? Apakah Islam berarti ‘perut buncit dan dompet tebal’? Seperti inikah agama? Tidak! Aku berlindung kepada Tuhan, jika seperti ini yang disebut  agama, aku akan meninggalkannya sebelum pagi. Tetapi yang sebaliknyalah yang aku yakini sebagai agama yang benar! Yaitu agama yang datang untuk menghapuskan hal-hal busuk itu. Islam adalah agama persamaan dan kebebasan; Islam adalah agama yang menentang masyarakat borjuis. Islam adalah agama kasih sayang.
Al-Quran menyatakan bahwa kasih sayang adalah yang utama.  ‘Bismillahirrohmanirrahim’ adalah yang pertama. Inilah wajah Islam yang pertama kali. Bukankah itu yang seharusnya tampak pada kita semua sebagai umat islam? Tapi, apa yang terjadi?
Betapa teririsnya hatiku melihat kemewahan yang sengaja kalian pamerkan kepada mereka. Dan betapa beratnya aku menyimpan ketidak-adilan yang aku lihat, yang seharusnya disuarakan namun karena tak berdaya terpaksa mereka bungkam dan mereka telan. Aku malu menjadi penduduk bumi, sebab tak semua diantara kita mau saling bergandengan tangan dan membantu sesama demi kebaikan semua.
Kawan, jangan kau tanya lagi tentang ketidakadilan dan kemiskinan yang semakin letih menguak gelisah hidupku. Dan jangan katakan bahwa mereka telah lama menjerit, menorehkan kesejatiannya lewat perih dan luka.
Kini jangan ada tanya lagi, jangan ada suara lagi, karena aku sudah hilang kata dalam titik kebisuan. Tapi dalam tarian lingkar kebisuanku ini lihatlah, ada jerit kesakitanku yang melipat-lipat.”
Aku ingin menyerah dan pergi, dan berpikir tentang hidup yang hanya sekali, dan tak perlu memilih jalan yang tak mungkin. Hidup sesukaku dan mati sesukaku itu tak apa. Tapi setiap aku melihat penderitaan mereka terjadi di mana-mana, membuat keinginan untuk mundur gagal, itu merubahku dan aku jadi ingin membantu mereka. Orang-orang itu menjadi orang yang kuanggap sebagai hal yang berharga bagiku. Setiap tersadar akan keadaan ini, bagiku adalah hal yang tak boleh dilupakan walau aku memilih jalan apapun juga. Mereka adalah orang yang aku akui dan aku percayai dari dasar hati. Dan orang seperti merekalah yang sebenarnya layak diberi kepercayaan untuk mengelola kehidupan demi kesejahteraan bersama. Dan itu semua membuatku jadi ingin terus mewujudkan cita-cita untuk menjadikan dunia ini penuh dengan cinta, kedamaian, dan sebagainya layaknya di surga meskipun orang lain mengatakan mustahil.
Aku tak ingin membiarkan setan menghancurkan hidupku. Selagi aku tinggal di dunia, bagiku satu-satunya cara agar aku berhenti adalah tidak melihat dan merasakan penderitaan umat manusia.  Kalau  aku  masih  melihat  dan  merasakan  penderitaan,  baik  penderitaanku maupun penderitaan orang lain, perjuangan harus tetap ada.

Belum ada Komentar

Posting Komentar