Cinta

“Sampai akhirnya cinta hadir dan membuka pintu hatiku dan menyinari sudut-sudutnya. Cinta memberiku sebuah lidah dan air mata. Orang-orang mengingat kebun-kebun, anggrek-anggrek, tempat-tempat pertemuan, pojok-pojok jalanan yang menyaksikan permainanmu dan mendengarkan bisikanmu yang lugu.” Begitu kata Khalil Jibran.
Hari hariku semakin buruk, membuatku tak suka bergaul dengan teman-teman sebayaku. Karena aku berpikir aku tak bisa berada disekitar mereka dengan menghabiskan waktu tak perlu tanpa melakukan apapun. Meskipun kesendirian bukan suatu hal yang mudah ku hadapi dan sangat ku mengerti sampai terasa sakit, namun aku lebih memilih hal itu demi prinsipku.
Kegelisahan sering kututup-tutupi dengan menyendiri. Hatiku menyalahkan siapa saja yang sedang berbahagia. Menurutku jika aku membiarkan diriku menjadi seperti kebanyakan dari mereka, aku tak akan sanggup menghadapi hidup ini. Dalam hidup ini selalu ada pertarungan dan saling menaklukkan. Jadi aku menyendiri dengan menjauhkan diri dan bersikap dingin dengan orang lain. Meski sering kali sikap dan tindakanku mengundang berbagai keluhan dan kemarahan orang.
Semua orang menganggapku aneh, tempramen dan berhati keras. Namun, ada yang menganggap diriku tegar. Tapi aku lebih tahu melebihi siapapun tentang diriku sendiri. Bahwa sebenarnya aku rapuh. Sikapku yang keras, terkadang marah, dan egois sebenarnya merupakan bentuk pelarian terhadap hal hal yang ingin ku hindari; karena sebenarnya aku bukanlah pemilik hati setegar orang yang melihat.
Sesekali aku juga rindu akan kehangatan. Dan sapaan dari orang orang yang ku kenal ingin ku dengar. Tapi aku juga ragu hal itu akan berguna. Aku takut hal itu akan membuatku besar kepala dan tenggelam dalam kelenaan dan membuatku malas dalam semangat mencapai keinginan.
Tapi ada yang mengusikku. Dia dan caranya menjalani hidup membuatku bertanya-tanya. Dia adalah kebalikan diriku. Dan aku sangat membencinya, aku membenci caranya. Tapi tingkat keberhasilannya sama, bahkan caranya menjalani hidup mungkin melebihiku. Karena itu juga aku mulai mengamatinya. Menurutku mungkin ada yang bisa kupelajari dari dirinya.
Dimanapun dia, selalu terlihat tersenyum. Sikapnya sangat berlawanan denganku. Dan aku tidak mengerti kenapa aku merasa ada yang salah dalam diriku. Padahal saat itu aku juga membencinya. Dan sudah jelas bahwa dalam segala hal kami hampir sama. Namun dia selalu terlihat lebih santai. Seolah tak terbebani.
Aku merasa ada yang aneh bila dia tersenyum padaku, dan aku hanya bisa mengangguk. Aku merasa menemukan sosok yang berlawanan dengaku, yang sebetulnya dulu pernah ingin aku wujudkan sebagai diriku sendiri. Hal ini membuatku serba salah.
Tapi ternyata dia sangat rapuh. Aku melihatnya menangis pada hari dimana dia pulang sekolah. Aku merasa kasihan padanya. Karena terlalu baik, jadi dia menanggung bebannya sendirian.
Aku menawarinya untuk pulang bersama. Dia tak keberatan. Ternyata dia cerewet juga. Atau mungkin karena sudah menganggapku sebagai teman. Dia menceritakan hal hal yang selama ini mengganjal di hatinya. Aku tak ingin tahu. Jadi aku diam saja mendengarkannya.
Dia mempunyai keinginan yang mulia. Dia selalu berusaha bangkit dari keterpurukan walaupun sangat sulit. Dia mengatakan, “Dalam hidup ini banyak sekali yang harus dilalui manusia dalam kehidupan. Karena itu aku berusaha mengerti. Jadi bila ada orang yang melakukan kesalahan, aku pikir begitulah kemampuan yang dimiliki orang itu. Bukankah setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda?” Aku masih diam mendengarnya.
“Terkadang aku bertanya, apakah yang kulakukan sudah benar atau salah? Karena benar dan salah agak sulit dibedakan. Tapi melihat orang lain bahagia selalu membuatku lebih lega. Aku mengakui bahwa aku memang naïf. Tapi setidaknya aku mampu membuat orang lain bahagia.” Itulah dirinya, dan itulah yang dilakukanya.
Dia itu bertanya padaku, “Apa pendapatmu, El?”
Aku menjawab, “Aku tidak ingin terlibat masalah orang lain.”
Dia menghela nafasnya. Dia tahu jawabanku bukan seperti yang dia harapkan. Lalu katanya, “Terkadang kita akan terlibat masalah yang tak pernah kita inginkan. Karena itu kitak tak seharusnya berpangku tangan melihat orang lain mengalami kesulitan.”
Aku merasa tersindir, “Kalau kita terlalu mencampuri masalah orang lain, justru akan tertimpa getahya. Bukankah masalah sendiri sudah banyak. Kau, kenapa tadi menangis? Masalahmu sendiri saja tak bisa kau atasi, kenapa masih memikirkan masalah orang lain?”
Dia tersentak, dia tak menyangka aku akan berkata seperti itu. Dia pikir aku marah. “Aku minta maaf El. Aku hanya merasa terkadang seseorang sangat membutuhkan pertolongan. Ada banyak hal yang tak bisa diselesaikan sendirian. Begitulah maksudku yang sebenarnya.”
Aku diam saja. Sebenarnya aku merasa tak enak hati dengannya, sebab aku juga merasa ada banyak masalah yang tak bisa kuselesaikan sendiri.
Belakangan, hatiku mulai bergetar bila melihatnya. Seolah matanya mengandung kenakalan yang membiusku. Entah cinta, atau peduli, atau apapun itu, pokoknya aku merasakan hal yang berbeda saat melihatnya. Ternyata dia juga memperhatikanku.
“Apa perasaan ini? Aku tidak tahu. Dan aku mulai resah saat bertemu dengan dia.”
Sejak awal dia adalah orang yang kubenci, tapi ia memperhatikanku. Aku pernah melukainya, tapi ia tetap memanggil namaku. Ia menarik perhatianku, orang yang dulu ku benci. Ia menderita sakit karenaku, tapi tak berniat dendam. Baginya tak ada musuh disini. Gadis itu menarikku. Dia-gadis itu, menumbuhkan cahaya di kegelapan hatiku. Dia, yang bernama Ni Made Gunarini.
Ia, gadis Bali yang anggung dan rapi. Begitu tenang saat aku melihatnya. Sampai sekarang, aku paling ingat kalau dia senyum, ada lesung dipipinya. Apalagi kalau dia memakai baju adatnya saat pentas tari, terlihat sangat manis sekali. Tapi ada sesuatu yang lebih agung daripada itu. Serasa aroma bunga diantara angin sepoi-sepoi dari tingkah lakunya. Wajahnya berseri-seri seperti ada sinar bulan yang menyinarinya setiap saat liukan tubuh dalam tariannya.
“Yang kusenangi dari urusan duniamu adalah wanita dan wewangian dan dijadikan kesejukan  mataku  (sebagai  biji  mata)  dalam  shalat.’  (HR.  An-Nasaa'i  dan  Al Hakim)
“Saat dia didekatku, aku merasa ada angin yang berhembus dan bumi begerak lambat. Bulan pun terlihat lebih besar dilangit. Kata orang itu hanya ada dalam mimpi, tapi itu nyata.  Saat aku melihatnya, semua itu terjadi. Demikianlah segala sesuatu berubah sesuai dengan perasaan.”
“Penari, engkau bagaikan dewi. Pesonamu memikat hati hingga ku sadari liukan tubuhmu penuh misteri. Menarik diri jatuh dalam pesona tak ku pahami. ”
Aku melupakan masa laluku, keadaanku, semuanya, kecuali gadis itu. Sekarang aku tahu, ada sesuatu yang lebih tinggi dari semua itu, lebih dalam dari kegelisahan, dan lebih aneh dari keberadaan makhluk melata di luar angkasa. Sekarang aku tahu sesuatu yang tak pernah aku ketahui, sesuatu yang lebih aneh dan lebih manis dari sekedar kasih sayang seorang saudara.
Seperti kata Khalil Gibran, “Saat itu Selma menjadi lebih sayang dari seorang teman, lebih dekat dari seorang saudara dan lebih cinta dari seorang kekasih. la menjadi pikiran tertinggi, mimpi terindah dan perasaaan terkuat yang ada di jiwaku.”
Aku sudah punya orang yang berharga. Orang yang mengeluarkanku dari neraka kesendirian dan mengakui keberadaanku. Aku selalu dilanda rindu padanya. Rindu pada wajahnya. Rindu pada tingkah lakunya. Rindu pada senyumnya. Rindu pada rambut-rambut liar didahinya. Rindu pada caranya mengucir rambut di kepalanya. Rindu pada bunga yang dia pakai di kupingnya. Rindu pada lincah gerakan tarinya. Juga rindu pada kehadirannya. Sekarang aku baru mengerti, aku adalah tipe lelaki yang tak kuat menahan rindu.  
“Aku berusaha keras untuk mencari cara meringankan beban rindu itu. Aku ingin tahu dimana saja bila dia diluar panggung. ‘Adakah aku seorang yang romantis? Aku tak tahu. Tapi sekarang cinta amat berharga dalam kehidupanku.’”
Aku menyiapkan diri hanya untuk sedikit saja melihatnya, atau bahkan bisa menemuinya dan mengatakan betapa aku sangat merindukannya. Aku keluar dan berjalan menempuh jalan-jalan kota. Aku mendengar percakapan orang-orang, anak-anak yang sedang berkejaran, gemercik air sungai, kecohan burung dan suara kendaraan.
Dari sederetan orang-orang yang lalu lalang, tampak Rin diantara mereka. Ia memang  gadis yang paling cantik, putih, cukup serasi dengan warna-warni bajunya. Ia terlalu manis untuk berjalan diterik matahari seperti ini walaupun menggunakan semacam topi.
Tatkala tersenyum, senyumnya lebih mengukuhkan lagi kalau disini bukanlah tempat yang pantas baginya untuk berjalan. Aku sempat khawatir kalau aku tidak berada di dekatnya dan aku masih hanyut dalam berbagai terkaan tentangnya, dan aku tidak sempat bereaksi ketika ia tersenyum.
Tapi saat hampir berdekatan, mentalku runtuh karena rasa takut begitu besar menyerang tubuh laki-lakiku. Aku seperti Geol-Oh dalam drama ‘Sungkyunkwan Scandal’ yang hanya mencintai gadis kesukaanya dalam diam.
Aku memperhatikannya sampai ia hilang di keramaian. Sungguh gadis yang sangat cantik. Aku merasa kecewa ketika kehilangannya di keramaian.
Lalu aku menoleh ke atas. Dan aku melihat dari kejauhan sebuah tempat yang menarik perhatianku. “Barang kali aku bisa melihatnya dari atas sana”, pikirku.  
Aku berjalan menjauhi keramaian, menempuh jalan setapak, menaiki tangga yang sangat panjang. Dari tangga ini aku dapat melihat dikejauhan birunya lautan, ombak-ombak kecil, perahu-perahu, dan kastil diatas tebing, tapi aku tidak dapat menemukan Rin dari ketinggian ini. Akhirnya aku kembali turun dan benakku berpikir agar aku pergi ke tempat Rin biasa latihan menari.
Dan tempat yang Rin sering gunakan untuk menari itu, sekarang menjadi tempat favoritku. Hampir setiap malam aku kesana dengan berbagai alasan. Seakan aromanya menempel di permukaan lantainya. Aku duduk di tepiannya dan membayangkan Rin menari didepanku. Hatiku menjadi seperti dekat dengannya. Seperti ada sebuah hukum tarik menarik yang terasa. Benar-benar sebuah moment yang tak biasa ditemukan.  
Aku benar-benar sudah jatuh cinta dengan tempat itu. Bukan dengan lantainya, tapi dengan permukaanya yang menyejukkan hatiku. Karna tempat ini adalah panggung cinta. Satu perkara yang amat misteri. Aku akan simpan ia sebagai rahasia.
“Cintaku adalah cinta yang bisu. Cinta yang sederhana. Cinta yang sangat malu. Tapi indah, indah sekali tak terperikan.”
Tapi Rin mendadak pergi enah kemana, aku tidak tahu. Perannya juga sudah di gantikan dengan orang lain. Orang-orang yang ku tanya pun juga tidak bisa menjawab dengan pasti kemana perginya.
Duhai, perpisahan ini sungguh sangat menyedihkan. Karena aku mulai merasa Rin lah yang membuatku bahagia. Hatiku serasa sakit terutama bila mengingat aku yang pernah marah padanya. Aku betul betul merasa kehilangan. Bagiku, kehilangan seorang gadis yang mendebarkan hatiku, seakan suatu  perkara yang mengerikan.
Aku tak tahu mengapa ia pergi dan kemana. Dua hari sebelum Rin pergi, dia berkata, “El, besok kita tak akan bisa bertemu lagi. Meski begitu, aku janji akan mengirimu e-mail.”
Saat itu aku hanya mengangguk mendengarnya. “Ah, bodohnya. Seharusnya aku tak membiarkanya pergi begitu saja. Seharusnya aku luahkan cintaku padanya. Tapi aku bukan pakar cinta profesional yang bisa berdialog. Ah, aku sangat meyesal. Dan sekarang aku sangat merindukannya.”
“Cinta tak harus memiliki itu bohong, semua orang ingin memiliki, bahkan terkadang harus saling memiliki. Melihat orang yang kita cintai bahagia dengan orang lain pun juga bohong, kita hanya berpura-pura bahagia saat hati kita tersakiti, itu mengajarkan untuk munafik. Lebih bahagia dicintai daripada mencintai itu salah, kita hanya merasa bangga. Karena saat kita mencintai kita bisa merasakan arti cinta itu sesungguhnya.”
Selama tiga bulan Rin masih mengirimiku e-mail. Sampai suatu saat, aku merasa aneh karena e-mail yang dikiriminya semakin hari semakin sedikit. Dan akhirnya Rin tak pernah mengirimiku e-mail lagi. Aku pun menjadi penasaran, “Sebenarnya apa yang terjadi padamu, Rin?”
“E-mail yang telah lalu, aku baca berulang kali, dan itu semakin mengimbau kenanganku. Mengingatkan tentang dia, dan semua ini menggelitik emosiku. Aku akui, aku benar-benar merindukannya. Aku tak pernah menyangka ini. Aku berusaha mencari dimana dia. Dan banyak perkara yang harus aku tangguhkan. Tapi dengan susah payah akhirnya aku bisa menemukan rumah orang tuanya. Saat itu juga aku memutuskan untuk pergi kesana.
Sesampainya dirumahnya, aku merasa aneh. Banyak daun-daun yang berguguran di halaman rumahnya, seakan sudah beberapa hari penghuninya tidak ada dirumah. Tapi aku tetap mengetuk pintu dengan harap-harap cemas, ‘Aneh tak ada yang membuka pintu.’ Kemudian ada yang memanggil-manggil namaku, aku menoleh kebelakang. Dia bertanya padaku ‘mencari siapa’. Aku jawab ‘aku mencari Rin’. Seakan jatuh dari ketinggian, dia mengatakan kalau sudah selama sebulan ini Rin sedang dirawat dirumah sakit.
Aku tak bisa berdiri dengan otot-otot kakiku, tanganku lemas untuk memegang sesuatu. Aku hanya bisa bersandar di kursi depan rumahnya. Dan perasaanku menghujung jatuh ke dasar palung lautan. Orang yang ku sayang, tengah menderita sakit dan aku tak mengetahuinya. Orang macam apakah aku ini.
Dengan sisa-sisa tengaga aku bergegas kerumah sakit saat itu juga. Tapi jalan yang kulalui berubah menjadi jalan hantu. Penuh detak jantung mendebarkan setiap tikungannya. Hembungan angin berubah menjadi aroma mayat. Dan tiang-tiang di pinggir jalan seakan makhluk-makhluk dari neraka. Dan orang-orang yang lalu lalang di jalan berubah menjadi setan-setan yang menakutkanku. Tapi keinginanku bertemu dengannya mengalahkan ketakutan dan kesedihanku.
Dirumah sakit aku bertemu dengan keluarganya yang duduk di luar ruangan tempatnya dirawat. Aku memperkenalkan diriku. Mereka tahu siapa aku saat aku memperkenalkan namaku. Karena Rin sering cerita tentangku. Ibunya menyambutku dengan senyuman dan mencium keningku meski aku lihat kesedihan yang dalam di matanya. Aku melihat keluarganya yang lain. Terlihat sekali raut kesedihan di wajah mereka. Apalagi adiknya, Koming. Aku tahu mereka berdua sangat akrab. Pasti tak mudah untuknya menerima kenyataan ini. Selepas itu mereka mempersilahkanku masuk. Air mataku menetes, saat itu aku melihatnya tergeletak lemas. Dia memakai tabung oksigen dan alat medis lainnya.
“Oh Tuhan, apa yang terjadi padamu Rin.”
Wajahnya yang manis terlihat sangat pucat. Senyum dan lesung dipipinya pun sudah tak bisa ku lihat lagi. Melihat keadaan ini, aku sangat sedih. Aku sangat terpukul saat mengetahui ternyata Rin menderita kanker darah stadium akhir. Aku pun duduk disampingnya.
“Rin, andai saja kau tahu apa yang terjadi dengan diriku. Sungguh aku mencintaimu. Demi Tuhan, jika aku ditanya siapa orang yang paling aku cintai di kalangan manusia, niscaya akan ku sebutkan namamu tanpa ragu-ragu.
Maafkan aku jika selama ini aku hanya diam, tapi……
‘Ku diam, karena ku tak kuasa.’
‘Ku diam, karena ku memuliakanmu.’
‘Ku diam, karena ku menjagamu.’
‘Ku diam, karena ku menghargaimu.’
‘Ku diam, karena ku menyukaimu.’
‘Ku diam, karena ku jaga kehormatanmu.’
‘Ku diam, karena ku mengharapkanmu.’
‘Ku diam, karena ku yakin yang terbaik.’
‘Hanya diam.’
Tapi diam, memberiku penyesalan. Seharusnya aku mencintai seperti aku tak pernah terluka. Seharusnya aku mengatakan perasaanku seperti tak ada yang melihat.”
Esok harinya, di depan pembakaran mayatnya, aku tak bisa bertahan lagi dan meratapi kepergiannya.
“Engkau yang sedang tersesat dalam cinta, jika yang kau genggam itu berduri dan menyengat, mengapakah engkau masih bertahan menggenggamnya? Jika kau yakini jodohmu itu ada di tangan Tuhan, mengapakah engkau tak membebaskan tanganmu untuk mengambil belahan jiwamu itu dari tangan Tuhan?
Kecerdasan apakah yang sedang kau gunakan, untuk membiarkan tanganmu terluka oleh duri yang sesungguhnya bisa kau buang itu? Tegaslah. Karena, cinta tak akan menunggu, dan jika dia sampai pergi - dia bisa lupa tentangmu saat engkau paling membutuhkan cinta.”
Orang bilang, adalah bencana besar, manakala aku rela mengabaikan masa depan dan justru hanya disibukkan oleh kesedihan tentangnya, itu sama halnya dengan aku mengabaikan bidadari dan istana-istana yang indah dengan sibuk meratapi bangkai dan puing-puing yang telah lapuk. Tapi cinta ini, tak bisa kulupakan begitu saja. Dan biarkan aku “cinta sendirian”.


PERIHAL CINTA
Khalil Jibran
Dia menghempaskanku hingaa aku telanjang.
Dia mengasingkanku demi membebaskanku dari kulitku.
Dia menggosok-gosokku hingga putih bersih.
Dia meremasku hingga aku menjadi lembut.
Semua ini dia lakukan supaya aku pahami rahasia hatiku.
Dan dalam pemahaman itu dia jadi sekeping kehidupan.
Namun bila dalam ketakutan itu aku hanya akan mencari
kedamaian dan kenikmatan cinta,
maka lebih baik bagiku untuk menutupi tubuhku
dan melangkah keluar dari lantai penuh cinta.

Belum ada Komentar

Posting Komentar