Aku Mencintai Manusia


“Aku telah datang dari golongan mereka juga. Berat terasa olehku penderitaan yang mereka alami. Aku sangat menginginkan keamanan dan keselamatan bagi mereka semua. Jika mereka mengetahui, sesungguhnya aku ini bukanlah seorang pembenci, aku adalah penyantun dan penyayang bagi mereka semua.”
Aku tahu suatu kaum tak bisa berubah tanpa berusaha sendiri untuk merubahnya. Tapi bukankah itu membutuhkan waktu, dan bumi akan menyerahkan orang-orang miskin kembali kepada-Nya, sebelum sampai waktu. Mereka, orang-orang miskin itu lebih mudah mendapatkan penderitaan seperti mudahnya orang kaya yang mendapatkan kebahagiaan. Disebabkan kesibukan mereka dalam mencari kehidupan, hingga tak bisa menemui Tuhan dalam sholatnya, semakin ku tak tak bisa membayangkan kalau mereka kelak juga akan menderita di akhirat.
“Ya Tuhan, jangan Kau tunjukkan aku lebih dari ini, aku takut aku tak bisa memperdulikan semua. Sebab dunia sudah tak lagi bisa dibeli dengan kemiskinan.
Ya Tuhan, aku telah banyak melihat mereka bersedih. Aku ingin melihat mereka tertawa, bahagia, dan mencintai-Mu, dengan begitu aku baru akan merasa tenang. Apa yang kini harus aku lakukan, kalau Engkau berfirman, ‘Tidak Kuciptakan engkau menderita diwilayah  kerajaan-Ku, tidak kuciptakan engkau kerdil dimata-Ku’, tapi ternyata aku menyaksikan kawanan manusia menderita dan mati dikerajaan-Mu.”
“Tidak, jangan mengembalikan keburukan manusia pada-Nya. Kita yang masih mencintai-Nya tidak boleh berkata ini adalah kehendak-Nya.”
Adakah yang pernah melihat seseorang seperti aku, yang galau mengadukan semua keluhan dan kegundahannya dengan menangis kepada Rabb Yang Memiliki isi langit dan bumi?
“Kawan, kehidupan ini lebih melelahkan dan mengombang-ambingkan kedirianku. Andaikan saja aku bisa berbagi dan memberi, itu merupakan kebanggaan bagiku.” Kata-kata ini yang selama ini aku tahan untuk tak mengatakannya pada manusia.

***

“Duhai betapa beratnya mempertahankah hak-hak-Mu, yang memaksaku menahan kesedihan diri  yang mungkin belum pernah terpikir olehku. Dimana sepertinya aku sebagai seorang bocah yang sendirian harus membuka cakar-cakar penjara yang dimana orang-orang yang jujur sengaja dimasukkan didalamnya.
‘Mengapa aku sebagai laki-laki harus kalah semacam ini?’
Duhai betapa sedihnya aku ini, menyadari aku hanya seorang diri dan tak ada  yang merasa bersalah akan mereka. Tentang bagaimana aku seorang diri menegakkan kepala yang sebenarnya terjadi kesedihan yang teramat dalam; ketika begitu banyak orang tak melihatnya. Kalau saja aku dapat memberi, aku tak menyembunyikan apapun, demi kebenaran dalam hatiku; semua ini aku lakukan tanpa menunggu orang lain melihatku.
Dalam diam aku memohon keadilan pada Tuhan untuk mereka, dalam tangis aku berdoa agar mereka diberi segala kebaikan. Aku sebutkan kepedulian dan ketidakmampuanku, aku sebutkan kelemahanku, aku sebutkan ketidak-berdayaanku, aku meminta kepada Allah jangan sampai ketidak mampuanku menghalangi untuk menolong mereka dan menggeser kedudukanku disisi-Nya, jikalau aku di buat susah, aku meminta Tuhan untuk mengakhirinya sekarang juga.”
“Ya Allah, Engkau perintahkan kami semua untuk saling menolong terhadap sesama yang membutuhkan, sedang Engkau tak memberikan aku sesuatu apapun untuk melaksanakan perintah-Mu. Maka dengan baris-baris kalimat ini, saksikanlah Ya Allah, sesungguhnya aku telah membantu mereka dengan kesedihan dan kebencianku terhadap orang-orang kaya yang tak tergerak melakukannya.
Ya Allah, tidak ada yang bisa aku infaqkan sebagaimana orang lain yang telah berinfaq. Kalau sekiranya aku punya sebagaimana orang-orang yang punya akan harta, pasti aku akan jadi yang pertama menginfaqkan hartaku pada mereka. Tapi, yang aku punya hanya keberadaan sebagai orang yang peduli terhadap mereka. Maka inilah kehormatanku yang aku infaqkan di jalan-Mu. Jika aku menangis saat melihat mereka, maka setiap tetes air mataku jadikanlah  pahala disisi-Mu. Kalau Engkau bisa menerimanya, maka saksikanlah keberadaan ini aku serahkan kepada-Mu.”
“Memang aku terlahir dalam kekayaan, dan bahkan aku bisa melakukan apapun yang ku mau. Tapi aku dan keluargaku mempunyai perbedaan keyakinan. Bagiku, orang yang berbeda keyakinan tak saling mewarisi. Itulah mengapa aku tak sanggup menolong mereka dengan kekayaan orang tuaku.”
 “TUHAN, lihatlah aku. Segala cara telah kulakukan agar mereka memberikan perhatian kepada  rakyat yang  kelaparan, tapi setan telah menjanjikan kemiskinan kepada mereka dan menyuruh mereka berbuat kikir hingga tiada yang kudapatkan. Dalam kebingungan telah ku minta mereka mengulurkan tangannya, dan karena setan pula, umat-Mu menolaknya.
Oh Tuhan, sudahkah menjadi kehendak-Mu, bahwa ibu-ibu melahirkan mereka, dan bumi menyerahkan mereka kembali kepada-Mu, sebelum sampai waktu.
Oh Tuhan, sekuat tenaga aku aku menjerit meminta belas kasihan dari umat-Mu, tetapi mereka menolakku dengan berlagak tuli, apa aku harus mengambinya sendiri dengan kekuatan tangan besi?
Telah kumohon sekeping roti untuk yang lapar, dengan himbauan kepada rasa kemanusiaan, tetapi rasa umat-Mu telah mati. Apakah aku harus mengambilnya atas nama kejahatan?
Tuhan, inilah ketamakan umat-Mu yang mengubah si lembut menjadi orang yang sangat jahat, dan melahirkan pembenci dari pecinta kedamaian.”
Dahulu jika keremajaanku adalah harapanku, tetapi sekarang mengecam kekuranganku.
“Duhai mengapa begitu banyak tuntutan tentang mereka yang papa? Dan apakah harus ku singkiri kesenangan duniawi yang ingin ku turuti? Tuhan, adillah padaku, atau panggil saja malaikat maut-Mu padaku! Karena Kau telah meliputi aku dengan rasa cinta kasih, tapi tak kuat aku mendukungnya. Sebab hati dan diriku tak terpisahkan dalam kelemahan.
Telah Kau tunjukkan kebahagiaan, tapi diluar jangkauanku. Engkau dan bahagia tinggal di  puncak gunung yang menjulang. Dan disaat aku berada diatas sana, aku menggigil kedingingan. Kapan bertemu puncak gunung dengan dasar lembah?
Telah Engkau perlihatkan padaku keindahan, tapi segera Kau sembunyikan kembali. Apa kegemilangan itu hanya akan tiba bersama datangnya akhirat nanti. Dan Engkau mengungkapkannya sebagai pendahuluan. Tapi, aku lihat mereka yang papa, menderita bersama kehidupan.
Selama aku hidup, ini jiwaku, yang tidak kupahami. Engkau kaya dalam ilmu dan kebijaksanaan, juga kekuasaan, tapi aku lamban memahaminya. Inilah diriku, tanggungan jiwaku.
Haruskan aku meminta diri dari ini semua? Membisikkan selamat tinggal berulang kali?  Hidup sesuka hati, tanpa air  mata dan kesedihan, tanpa belas kasihan dan kepedulian. Hanya cinta dan harapan untuk diri sendiri? Tapi, jika aku pergi, bagaimana dengan mereka yang tenggelam?”
Kawan, aku terjebak dalam orang yang tak aku suka, dan pura-pura tak peduli. Dan itu membuatku selalu berkabung dalam hari-hariku dan hari-hari kemarin atas keadaan yang demikian. Bagaimana dengan kalian?
Aku masih menangis. Masih menderita luka-luka ini. Aku sungguh membencinya. Dari lubuk hatiku yang terdalam, aku ingin menyelamatkan diriku sendiri. Aku kembali menangis. Aku telah dilukai sesama dan membenci sesama.
Tubuhku lebih kurus sekarang dibandingkan belum aku mengenal keadaan ini. Benar apa kata orang, suatu yang sulit dan yang tak bisa kita mengerti, akan dimengerti oleh tubuh kita.
Dan begitu banyak setan membisikkanku untuk bunuh diri. Kalau orang lain pasti sudah tak tahan dengan rasanya. Ketika hidup dengan merasakan kesepian dan penderitaan yang hampir tak tertahankan, aku bukan orang kuat yang sendirian dineraka seperti itu.
“Sekarang kumemahami beban berat Rasulullah hingga beliau ingin menjatuhkan diri ke jurang tapi ditahan oleh malaikat Jibril ketika aku ingin bunuh diri karena bingung dengan siapa aku dan tak kuat menahan beban berat dengan keadaan yang menimpaku.”

Belum ada Komentar

Posting Komentar