Keluarkan Aku Dari Tempat Ini.
Kepedihan hatiku begitu merobek-robek jantungku. Ditinggalkan kedamaian hati dan orang yang disayang serta tak sempat menyatakan cinta. Dan juga suara-suara kesedihan seakan-akan datang dari dari luar rumah, membuatku ingin segera mati. Mereka datang tanpa peringatan, seakan memanjati pagar dan menyelinap masuk dari lubang-lubang ventilasi jendela.
“Kenapa nasibku seperti ini Tuhan, meski aku ini orang yang seenaknya sendiri, tapi aku bukan orang yang selalu berlagak sampai menunjukkan jati diri segala. Aku juga bukan orang yang selalu mempermainkan dan menyakiti perasaan orang lain. Mengapa aku harus mengalami nasib semacam ini?”
Aku menyendiri di tempat yang tidak jauh dari rumah nenek. Aku duduk sendirian di padang rumput yang sangat luas untuk menenangkan hatiku. Dari kejauhan, aku dapat melihat hamparan gunung merapi yang berdiri dengan kokohnya. Dan di depan mataku, rumput seakan bersujud diterpa tiupan angin. Kemudian secara sayup-sayup aku mendengar suara adzan. Lantunan suara itu begitu menyayat hati. Aku jadi merasa begitu bersalah.
Entah dari mana asalnya, tiba-tiba seseorang berbusana gamis, perlahan-lahan menghampiriku. Aku terkejut, seraya bertanya-tanya dalam hati, ‘siapa lelaki itu?’ Makin mendekat, aku rasakan getaran dalam tubuhku. Jantungku berdebar, bulu kudukku berdiri. Namun, aku hanya diam terpaku.
“Dengan satu tatapan aku mampu menerka apa yang ada di dalam matamu.” Orang itu datang dan mendekatiku.
“Berbanding kemarin, hari ini aku melihatmu memendam sesuatu. Dan ku semakin merasa berkepentingan sewaktu aku melihat matamu.”
Dia pandai masuk dalam pikiranku. Tapi walau begitu, bagiku kata-katanya hanya bagaikan sampah yang hendak dijejalkan ketelingaku.
“Bisa saja dia berkata seperti itu. Kalau menghadapi musuh yang terlihat, mungkin ada yang bisa kuharapkan bantuannya. Tapi masalahnya, musuh ku adalah musuh yang tidak terlihat.” Bisik hatiku.
Orang itu tahu aku tak mengharapkan kedatangannya. Begitu tepat di depanku, lelaki itu berkata, “Jika kau terus seperti ini, maka yang tersisa hanyalah rasa bersalah diri dan tak berdaya. Kau harus mengabaikannya, sebab hidup ini lebih singkat dari sekedar berpikir.”
“Apa maksudmu? Tahu apa kau tentang aku? Kau yang tak pernah mengalami hal yang sama, tak akan pernah benar-benar mengerti perasaanku.”
Dia mengerti apa maksud dari perkataanku. Seperti berisyarat, lelaki itu mengajakku ke suatu tempat entah ke mana. Ketika diajak, aku pun tidak menolaknya. Saat aku berdiri, orang itu melangkahkan kakinya. Dan aku buntuti lelaki yang tak pernah kukenal sebelumnya itu. Dengan dibantu tongkatnya, lelaki berjamis itu terus melangkah, hingga ke suatu tempat yang menjauhi tempat itu .
Rasanya aku berjalan jauh sekali. Kemudian aku berkata padanya, "Cukup sekarang. Aku sudah lelah." Dan karena keletihan aku berbaring di bawah sebuah pohon.
Tiba-tiba orang itu menyentuhku serta berkata, "Bangunlah, makanlah! Sebab kalau tidak, perjalananmu nanti terlalu jauh bagimu."
Ketika aku melihat sekitarku, disebelah kepalaku ada roti bakar, dan sebuah cawan berisi air. Lalu aku makan dan meminumnya, kemudian berbaring lagi.
Setelah beberapa saat, orang itu menyentuhku dan bertanya, “Apakah yang kau lakukan disana tadi, hai Elian?"
Aku bangun dan menjawab: "Aku sedang mencari TUHAN, Allah semesta alam, karena DIA telah meninggalkanku sendiri dan memisahkanku dengan orang yang ku kasihi, meruntuhkan kepercayan-kepercayaanku dan membunuh harapan-harapanku dengan kediaman-Nya, tapi aku yang seorang diri masih ingin hidup dan menemukan-Nya."
Lalu orang itu menjawab: ""Bangun dan berdirilah di atas gunung itu di hadapan TUHAN!" ‘Maka angin besar dan kuat, yang membelah gunung-gunung dan memecahkan bukit-bukit batu, mendahului TUHAN tetapi tidak ada TUHAN dalam angin itu. Dan sesudah angin itu datanglah gempa. Tetapi tidak ada TUHAN dalam gempa itu. Dan sesudah gempa itu datanglah api. Tetapi tidak ada TUHAN dalam api itu. Dan sesudah api itu datanglah bunyi angin sepoi-sepoi biasa.’
Segera sesudah aku mendengarnya, aku menyelubungi mukaku dengan bajuku. Maka orang itu berkata padaku lagi:
"Apakah kerjamu di sini, hai Elian?"
Jawabku lagi: "Aku sedang mencari TUHAN, Allah semesta alam, karena DIA telah meninggalkanku sendiri dan memisahkanku dengan orang yang kasihi, meruntuhkan kepercayan-kepercayaanku dan membunuh harapan-harapanku dengan kediaman-Nya, tapi aku yang seorang diri masih ingin hidup dan menemukan-Nya."
Dia bertanya lagi padaku, “Kenapa kau ingin sekali menemukan Tuhan?”
“Jika namaku juga tertulis di lauhul mahfudz, niscaya Tuhan akan menampakkan diri-Nya padaku. Tapi kenapa selama ini Dia diam? Mengapa Dia tak menampakkan diri-Nya padaku? Padahal sudah jelas-jelas aku tidak dapat melihat dalam kegelapan.”
Dia berkata padaku lagi, "Jika kau dapat menemukan-Nya, apa yang kau inginkan?”
“Aku tak meminta kekayaan dari-Nya, aku juga tak meminta umur panjang atau apapun juga. Aku hanya ingin pengetahuan dan kebijaksanaan; agar aku bisa mengerti hakikat kehidupan ini hingga aku tak merasa kesepian lagi.”
Maka orang itu menyentuhku lagi dan berkata, “janganlah kamu seperti mereka yang mengikuti nafsu dalam hati dan membelokkan diri dari kebenaran yang sudah datang padamu. Padahal untuk masing-masing dari kita semua sudah ditetapkan oleh Allah aturan dan jalan yang benar.”
“Apa maksud dari kata-katamu itu?”
“Terkadang manusia tak perlu mempertanyakan apa yang terjadi saat ini, bila memang semua telah terekam oleh mata tak ada hal lain kecuali manusia butuh akal dan sanubari agar dapat melihat segala hikmah dibalik pintu kemisteriusan.
Tak usah bersedih bila kau tak menemukan jalan untuk mendekat pada-Nya, bila hatimu sudah terpaut maka tak akan muncul pertanyaan. Dia hanya ingin tahu bagaimana kau berjalan di atas hamparan kerikil terjal menyakitkan. Apakah kau akan tetap mencari-Nya dengan usaha dan rintihan doa yang kuat untuk terus mencapai ujung jalan atau kau akan putus asa.”
“Jadi aku harus bagaimana?”
“Bila ingin mendapat cinta-Nya, maka kau akan mendapatkannya melalui cobaan. Karena kau takkan bisa meloncati sebuah jurang dengan dua lompatan kecil. Tiap kali lulus ujian, Dia akan menganugerahkanmu ilmu, pengertian dan kedamaian hati padamu.
Tapi kau selalu mengeluh dalam hidupmu. Kau menganggap jika kelahiranmu sia-sia. Dan kau selalu ingin kehidupan kedua yang lebih baik. Sekarang aku wasiatkan kepadamu, manusia sengaja diciptakan Tuhan dengan penciptaan yang termulia dan untuk tugas yang termulia pula. Diciptakannya manusia bukan untuk sebuah kesia-siaan. Bahkan semua makhluk lainnya diciptakan untuk mendukung manusia dalam mencapai tujuan mulia dalam hidupnya.
Dan Dia melahirkanmu kedunia karena kau perlu untuk datang dan hidup. Dan belajar pelajaran untuk kau pelajari. Ketika kau tak bisa belajar lagi, ketika kau sudah penuh seperti yang seharusnya, jiwa dengan kebijaksanaanya akan berkata ‘cukup’. Dan jiwa akan memimpin dirimu untuk menuju lingkungan yang berikutnya, tubuh yang berikutnya, semua yang kau perlukan.”
Aku merenung memikirkan kata-katanya. Dia menepuk pundakku dan kembali berkata, “Anak muda, kehidupan tergantung dari pilihanmu. Dimana kau hidup, berapa lama kau hidup, berapa lama kau mati dan kapan kau terlahir kembali, semua pilihanmu sendiri.
Salah dalam memilih hidup, maka dunia yang diberkati Allah ini akan menguasaimu. Keinginan-keinginan tak terbatas akan menguasaimu. Godaan-godaan mulai muncul, dan pelajaran tentang kehidupan akan menghilang dan kau berada dijalan yang salah.
Dan kematian akan menjadi sia-sia, jika manusia mati hanya untuk hidup lagi. Karena kematian itu adalah agar kita sebagai manusia dapat membangun untuk diri sendiri kesempatan baru untuk berkembang. Dan kesempatan itu manusia sendiri yang meneruskannya. Jika kau tahu apa yang kau lakukan, apa yang tidak bisa kau capai dalam hidup, dapat kau capai dalam kematian. Untuknya, sadarlah akan tujuan dan kematian.
Jadi berpikirlah tentang kematian dengan cara yang benar, ‘kau telah membuang-buang hidupmu, kini janganlah kau membuang-buang kematianmu’.
Dan jika kau telah menetapkan kebenaran yang terus menerus dalam kehidupanmu, pikiran tersebut tidak akan meninggalkanmu saat kau mati. Pada akhir kehidupan, dan kita mampu berpikir dan berucap tentang KeEsaan Tuhan, maka kita dimungkinkan akan bertemu dengan-Nya dalam keadaan Bahagia.”
“Apa kau tahu apa kematian itu?” Dia bertanya padaku.
“Tidak.” Jawabku.
"Kematian adalah tantangan, kematian mempertegas kita untuk tidak melupakan waktu, kematian memberi tahu kita untuk saling mengatakan saat ini juga bahwa kita saling mencintai.”
Aku bertanya padanya, “Bagaimana untuk mengatasi kematian itu? Aku sangat khawatir padanya dan terkadang juga aku tak menginginkannya sama sekali.”
“Banyak orang takut akan kematian dan tak menginginkannya. Dan karenanya mereka menginginkan berumur seribu tahun. Padahal umur panjang itu tak akan menjauhkan mereka dari pengadilan Allah. Tapi memang ada cara untuk mengatasi kematian, yaitu dengan jatuh pada kaki Allah dan berdoa, ‘Tuhan, bawalah aku sebelum kematian membawaku’. ”
“Apa berdoa saja adalah salah satu pilihan?”
“Tentu tidak, sebenarnya apa yang harus dikhawatirkan tentang kematian? Apa yang harus ditakutkan tentangnya? Kematian itu tidak ada. Yang terjadi adalah kau dan tubuhmu tidak berada ditempat yang sama.
Selama kau takut untuk mati, kau tidak akan dilepaskan, kau akan terus terpenjara dalam lingkungan kelahiran dan kematian yang sangat kau takutkan. Kau yang takut untuk mati akan mati dan mati lagi sampai kau takut kehilangan ketakutan.
Sekarang dengarkan aku. Jika kau mampu melampaui itu, maka kau dapat mati ketika kau menginginkannya, kau dapat mati ketika kau memilihnya. Kau dapat kembali lagi dan lagi jika kau menginginkannya. Jadi kematian bukanlah benar-benar sebuah kematian.
Karena manusia tidak dilahirkan, manusia tidak dapat mati. Semua yang dilihat manusia atas kelahiran dan kematian adalah hal yang dijatuhkan Allah kepadanya dengan pengamatan manusia; orang-orang yang dilahirkan dan orang-orang yang mati. Oleh itu manusia berpikir manusia dilahirkan dan akan mati. Kenyataanya adalah tubuh manusia masuk kedalam manusia dan akan berhenti. Manusia abadi semenjak diciptakan Allah. Entah dimana manusia akan hidup selamanya. Tergantung amalnya, di surga atau dineraka, manusia tak akan pernah mati.
Maka anakku, hilangkan kekotoran dalam dirimu dan dapatkan kehalusan-Nya, dan kemudian jadilah seperti apa yang Dia inginkan. Hanya dengan demikian kau dapat menjadi satu dengan Dia. Dengan begitu, tujuanmu dalam kehidupan dan setelah kematian dapat tercapai.”
“Namun ada yang lebih jelek dari kematian?”
“Apakah itu?”
“Ialah menyia-nyiakan waktu. Kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan penghuninya. Sedangkan menyia-nyiakan waktu akan memutuskanmu dari Tuhan dan kehidupan setelah mati.”
“Kata-katamu terlalu membingungkan. Aku masih belum bisa mengerti.”
“Pergilah, kembalilah ke jalanmu melalui padang yang luas tadi.”
“Apa yang akan aku dapatkan jika aku menuruti kata-katamu?”
“Ketahuilah, apa yang ada dihadapanmu, dan apa yang tersembunyi darimu akan dibuka untukmu. Sebab tidak ada sesuatu yang tersembunyi kecuali akan dijelaskan.”
“Maksudmu?
“DIA sedang mengujimu, bahkan dalam keadaan putus asa DIA akan tetap mengujimu. Karena DIA akan hancurkan hati orang yang ia sayang barkali-kali, sehingga tiada harapan untuk dunia ini. Yang ada hanyalah harapan untuk DIA saja. Bagi yang mencari cinta-Nya, bersedialah menerima hakikat ini.”
Aku menangis dan tak tahu apa yang harus dia katakan. Aku keliru sendiri.
“Jangan menangis anakku, nanti kau akan mengerti dengan sendirinya. Dan bersabarlah. Tuhan tidak akan membuang yang kau kira baik, tanpa menyiapkan yang betul-betul baik bagimu.
Sekarang sudah saatnya aku pergi. Sebab kalau aku tidak pergi, maka cahaya dalam hatimu tidak akan datang. Dan kalau dia datang, dia akan memberikanmu apa yang didengarkan dari Allah. Untuknya, ikutilah segala apa yang dia katakan padamu. Dan kau akan mampu melihat dengan baik dibalik kegelapan.”
Orang itu membalikkan badan sehingga membelakangiku dan berjalan meninggalkanku sendirian. Sedang aku masih diam terpaku di tempat itu. Aku bisa melihat punggung dan rambutnya yang sebahu. Orang itu berjalan beberapa langkah kedepan. Aku terkejut, tiba-tiba orang itu sudah menghilang dari hadapanku.
Kemudian aku mendengar suara yang memanggil-manggil namaku dalam kegelapan. Ada seberkas cahaya di depanku dan ku membuka mataku. Ternyata nenekku datang mencariku dan bertanya mengapa aku tidur disini.
“Huh, ternyata tadi hanya mimpi.” Pikirku.
Aku berjalan meninggalkan tempat itu di belakang nenekku. Entah mengapa ketika itu hatiku menjadi begitu terharu, hingga meneteskan air mata karena setelah sekian lama akhirnya aku merasakan betapa dekat diriku dengan Tuhan. DIA seperti sudah bicara langsung denganku. Sekarang, dalam hal memohon ampun pun, aku tak perlu perantara atau bersikeras melihat-Nya.
“Ternyata selama ini Dia melihatku, Tuhan yang ku cari. Dan dunia menjadi terbalik diwajahku. Aku pun terus menangis karena merasa bahagia. Aku pun bertekad tak ingim memperlihatkan hal yang memalukan pada-Nya. Karena aku telah hidup dalam manisnya kehidupan. Aku telah mengetahui nilainya.
Betapa aku sangat menyalahkan kaum muslimin karena mereka jarang memberitahuku tentang islam. Mereka meninggalkanku hingga tersesat dalam kedalaman ini. Lalu tertanam dalam benakku gambaran buruk tentangnya, dan hampir tak mengetahui sesuatu apapun tentangnya.
Wahai kaum muslimin, sampaikanlah Islam. Wahai orang yang kalian dilahirkan dalam keadaan muslim, sampaikanlah tentangnya. Dia adalah amanah dipundak-pundak kalian pada hari kiamat. Mereka akan bergantung dileher-leher kalian. Dan kalian tidak akan memiliki alasan apapun setelah itu diatas Allah Swt.
Dan janganlah kalian hanua memalingkan wajah untuk akhirat saja. Bukankah itu adalah suatu bentuk kesombongan jika hanya mementingan diri sendiri dan golongan tertentu dari kalian saja? Bukankah Allah telah menjadikan kalian umat pertengahan? Umat yang adil, yang tidak berat sebelah, baik dunia atau akhirat? Tapi seimbang diantaranya?
Bagaimana jika saat kita semua di hadapan-Nya, lantas saat giliran mereka berada di hadapan Tuhan dan Tuhan bertanya padanya, ‘Apa yang kau inginkan? Apa belum cukup kebesaran yang KU tunjukkan? Tempat kembalimu adalah neraka?’
Dan saat itu mereka menyangkal, ‘Tuhan, sekali-kali bukan sepenuhnya salahku. Mereka ada disekelilingku, tapi tidak menghampiriku.Mereka juga sangat egois terhadap kecintaan mereka pada Islam. Mereka juga tak mau memberitahukanku sesuatu tentangnya. Apakah itu malu atau karena kebodohan, ataukah kemalasan atau kegagalan mereka dalam menyampaikan kebenaran, aku tidak tahu. Aku minta keadilan-Mu. Aku tak mau sendiri menjalani hukuman-Mu, sedangkan ini bukan sepenuhnya salahku.’
Mereka menghancurkan semua ibadah kalian. Dan saat itu juga, lantas DIA menyeret kalian bersama mereka ke neraka.
Bagaimana kalau itu terjadi? Coba jawab pertanyaanku ini! Kata apa yang akan kalian gunakan untuk membela diri.’
“Janganlah kalian hanya menasehati orang-orang baik diantara kalian sendiri, bukankah mereka sudah mendapatkan petunjuk dan hidayah? Bukankah mereka yang terbelenggu oleh dosa dan kebutaan lebih membutuhkan bimbingan dari kalian? Maka bukalah tangan kalian dan berikan mereka warna. Karena surga dan neraka masih abu-abu di mata mereka. Agar kalian semua menjadi saksi atas perbuatan manusia lainnya. Dan agar Nabi Muhammad menjadi saksi atas perbuatan kalian.”
“Kau yang sekarang hatinya sedang gundah, geram, sedih dan gelisah adalah jiwa yang dikasihi Tuhan, yang sedang berada dalam proses pendewasaan dan penghebatan.
Bersabarlah.
Kau tidak akan disedihkan, tanpa disiapkan kebahagiaan.
Kau tidak akan digalaukan, tanpa dibangunkan kedamaian.
Dan kau tidak mungkin direndahkan, tanpa disusunkan
derajat yang tinggi.
Iman itu indah.”
Belum ada Komentar
Posting Komentar