Pendidikan


Pendidikan Formal
Ilmu Pengetahuan boleh jadi merupakan tenaga terkuat yang pernah dilihat dan dimiliki umat manusia. Sebegitu kuatnya hingga ia adalah bukan apa-apa dibanding dengan potensi yang dimilikinya. Dimasa mendatang, peramalan kita akan kebesaran dan kekuatan yang dimiliki ilmu pengetahuan ternyata merupakan usaha sia-sia yang sangat memilukan dan memalukan. Kekuatan dasyhat ilmu pengetahuan justru malah sangat membahayakan kita, khususnya bila digunakan oleh mahluk serakah, irasional dan kompulsif dengan penunjang peradaban yang tidak memadai seperti manusia. Hal itu sama saja seperti seekor monyet yang menemukan pistol yang berisikan peluru. Ilmu pengetahuanpun telah melalui perjalanan panjang. Ia berjalan menghadapi cobaan berat dari kekuatan-kekuatan berwatak jahat yang masih ingin mempertahankan sisa-sisa kekuatan dan kehormatan mereka. Seperti anak jenius yang aneh, ia dikucilkan oleh yang lainnya bahkan didiskriminasi dan diolok. Tapi kita semua tahu bahwa dialah yang pada akhirnya justru menjadi pemenangnya.
Segala macam bentuk usaha manusia selalu didasarkan pada tujuan, tapi jalan menuju tujuan tersebut selalu dipilih berdasarkan nilai dan keyakinan yang dimiliki. Perwujudan terhadap apa yang hendak dicapai yakni pendorong dari seluruh usaha sehingga tujuannya-pun merupakan nilai yang dianut oleh mereka. Nilai adalah hal yang sangat penting bagi manusia, karena nilai sesuatu hal yang memberi makna terhadap kehidupan yang dimiliki manusia. Nilai adalah jiwa yang memberi perasaan kepada manusia—bahwa dialah seorang manusia. Nilai adalah esensi dari keberadaan manusia sendiri. Sehingga dalam segala macam upaya apapun jangan pernah kita kehilangan nilai, jangan pernah kita kehilangan jiwa tujuan manusia, jangan pernah kita hilang manusianya sendiri!
Ilmu pengetahuan dimulai dengan penuh sarat nilai, dengan penuh sarat tujuan yang amat mulia. Ia adalah perjuangan terhadap kebohongan, perjuangan terhadap pembebasan dari belenggu kebodohan dan ketidaktahuan, keacuhan dan kebohongan yang semuanya merupakan kejahatan akan hati nurani manusia sendiri. Dan ia harus melalui perjuangan yang amat berat, pengorbanan terhadap ribuan jiwa manusia, jiwa-jiwa yang ikhlas berkorban demi keyakinan mereka, menghadapi ribuan jiwa yang melawan juga untuk keyakinan mereka.
Memang semuanya tidak segampang hitam putih, yang pasti dunia modern menganggap mereka yang berkoban demi ilmu pengetahuan sebagai pahlawan sementara mereka yang berjuang mengkritisi malah mendapat label sebagai penjahat. Jika perjalanan sejarah berkebalikan dengan sekarang sudah tentu anggapan di atas juga akan berbalik pula. Yang pasti ilmu pengetahuan waktu itu berjuang melawan kekuasaan lama yang sudah tua yang sudah waktunya minggat (pergi menjauh). Toh, tidak ada yang kekal kecuali Tuhan  yang diatas sana! Dan tentu wajar saja kekuatan tua itu melawan dan mempertahankan diri dalam keadaan menghadapi ajal sekalipun.
Setiap sistem terkandung nilai dan kepercayaan tersendiri. Semuanya boleh-boleh saja dan memang dibutuhkan agar sistem itu dapat berjalan seoptimal mungkin. Tapi jangan pernah lupa bahwa ada tujuan utama manusia yang paling luhur dengan nilai yang luhur pula. Sebuah nilai universal yaitu nilai kemanusiaan, nilai yang menjadikan kita manusia. Adalah nilai tersebut dengan tujuannnya keseluruhan dari usaha manusia yang dituju. Adalah nilai itu dan tujuannya yang menjadi pencetus seluruh keyakinan yang muncul baik dimasa lampau, sekarang ini ataupun masa depan. Masalahnya dengan sistem yang memiliki tata nilai sendiri seperti yang telah berulang-ulang kali terjadi dalam sejarah, yaitu bahwa nilai-nilai sempit sistem itulah yang menggantikan nilai luhur manusia sehingga tujuannya pun menjadi tujuan egois sistem itu sendiri. Bagi sistem tersebut akhirnya hidup dan sadar bahwa ia mempunyai keinginan sendiri sehingga mengeksploitasi bahkan memperbudak manusia yang merupakan pembuatnya untuk mencapai tujuan-tujuan egoisnya sendiri. Ketika saat itu manusia akan mulai sadar akan hal ini dan mencoba menggantikan sistem tersebut oleh sistem baru yang menawarkan pengembalian kembali kejalan semula, yang pada akhirnya sistem baru itupun akan salah alur lagi sehingga siklus akan berjalan di tempat. Sebuah siklus yang tampaknya tidak pernah henti. Bahaya terbesar suatu sistem adalah pendogmaan terhadap nilai-nilai sempit tiap keyakinan yang seharusnya bersifat sementara dan elastis bahkan plastis terhadap perkembangan jaman. Dan inilah yang sekarang terjadi pada ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan telah begitu jauh keluar dari jalur aslinya, ilmu pengetahuan telah kehilangan maknanya bagi manusia. Ia telah begitu menjauh sehingga manusia tidak merasa dekat dengan ilmu pengetahuannya sendiri, sehingga kegunaannya telah hilang dan daya pikatnya mulai luntur, mengendur dengan tajam. Ilmu pengetahuan sekarang tidak pernah memberi manfaat terhadap manusia, ia pun tidak pernah memberi jawaban kepada penciptanya, hanyalah alasan ataupun menggantikan arah pembahasan yang sama-sama hampanya. Ilmu pengetahuan adalah kekuatan yang amat sangat dahsyat sehingga untuk bermain-main tanpa tujuan sesungguhnya sangatlah berbahaya. Ditambah ilmu pengetahuan kini justru digunakan oleh sistem-sistem yang lebih rakus dan jahat dengan tujuan picik mereka.
Sistem-sistem seperti politik dan ekonomi yang berhasil menguasai jalan dan arah perkembangan. Seperti politik beserta anaknya yang bernama sistem militer, telah mengarahkan ilmu pengetahuan pada pengembangan senjata-senjata pemusnah massal yang amat sadis dan berbahaya. Politik adalah sistem irasional dengan variabel-variabel yang kompleks dan sulit dimengerti oleh manusia sehingga sangat sulit ditebak. Adalah kebodohan total memberikan sistem yang tak dapat dipercaya tersebut dengan kekuatan maha dasyat, dan dengannya sekarang memiliki kemampuan meratakan semua hasil usaha dan peradaban manusia dalam waktu yang singkat.
Adapula ekonomi juga merupakan sistem irasional yang bertujuan meningkatkan produksi dan daya konsumsi manusia kedalam tingkatan yang tak terbatas. Yang lebih mengerikan adalah penggunaan ilmu pengetahuan untuk meningkatkan produksi dengan kecepatan yang menakjubkan dengan tujuan yang jelas sangat tidak masuk akal. Khususnya dalam keterbatasan sumberdaya alam ataupun kemampuan planet bumi untuk menampung beban seperti itu ataupun penggunaan ilmu pengetahuan untuk meningkatkan daya konsumsi masyarakat. Menjejali mereka dengan ilusi-ilusi kebahagiaan hidup yang merupakan kebohongan belaka. Dengan kemampuannya menciptakan dunia virtual yang begitu menawan dan romantis sehingga manusia yang memang tertekan rasa kerinduannya akan kesederhanaan hidup akan dengan senang menggantikan kehidupan asli mereka dengan ilusi belaka yang tidak bermanfaat. Menjejali mereka dengan nilai-nilai keliru yang bertujuan meningkatkan omzet dan keuntungan, meningkatkan ketidak-masuk-akalan. Memang benar-benar zaman edan (gila)!
Politik dan Ekonomi berkolaborasi dengan menggunakan ilmu pengetahuan untuk mencapai tujuan gila, dengan nilai gila mereka menghancurkan tujuan mulia dan nilai mulia kemanusiaan. Jelas-jelas adalah waktunya manusia bangkit melawan kekuatan-kekuatan di atas serta mencoba mengarahkan nasibnya ke jalur yang lebih menjanjikan pemenuhan tujuannya. Adalah waktunya manusia memikir ulang paradigma politik, ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan bahkan kebudayaan sendiri, menemukan permasalahannya dan mengganti dan mengubahnya agar cocok dengan keinginannya. Tapi tidak untuk digantikan oleh mesin lain yang berpotensial menguasai manusia lagi dan mengancamnya dengan kehancuran lagi. Yang harus dipastikan adalah penetapan dinamisme yang sehat dengan diiringi perubahan nilai-nilai operasional sempit agar mengakomodasi perubahan waktu dimana semuanya berada di bawah naungan nilai universal dengan tujuan mulianya.
Jurang pemisah ilmu pengetahuan terhadap manusia dapat dilihat oleh obsesinya mensekulerkan segala hal. Ia mengkotak-kotakkan semua, menjadikannya benda obyek yang dapat dijelaskan secara obyektif pula. Ia melanggar kesucian segala hal sehingga menjadikannya profan, menjadikannya tidak suci dan tidak bermakna, karena manusia adalah mahluk yang sangat subyektif yang membutuhkan arti dalam banyak benda-benda disekelilingnya untuk membuat hidupnya berarti. Tapi obsesi ilmu pengetahuan sangat kuat bagaikan dogma yang sulit dibunuh. Tapi ketika ilmu pengetahuan telah menjelaskan apa itu cinta, apa itu emosi, apa itu prinsip maka ketahuan bahwa yang ditawarkannya hanyalah ilusi belaka yang tak bermanfaat, tak bermakna dan membuktikan dirinya sebagai kesalahan. Karena dalam usahanya menghilangkan subyektifitas ia telah kehilangan kontak dengan manusia. Ia tidak mengerti bahwa manusia tidaklah obyektif tetapi sangat subyektif, dan bahwa subyektifitas manusialah pemberi makna akan kehidupan manusia, subyektifitas nilai luhur manusia. Dalam hal ini ilmu pengetahuan sangat kalah dengan seni yang berhasil menampilkan individu sebagai temanya. Tapi obyektifitas ilmu pengetahuan sendiri telah menjadi obyektifitasannya, bahwa dalam usahanya mencapai obyektifitas sempurna, ia telah menolak segala macam perspektif lain yang dianggapnya subyektif. Yang tidak dilihatnya adalah bahwa keobyektifitasan ilmu pengetahuan adalah hanya salah satu dari perspektif yang tersedia untuk melihatnya, adalah bahwa ilmu pengetahuan telah dalam mempertahankan satu obyektifitas hilang akan keobyektifitasannya, karena ia telah menjadi sangat subyektif. Ilmu pengetahuan tidak mengakui kebenaran pendapat lain yang melalui perspektif yang berbeda dengan perspektif ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan hadir untuk membebaskan manusia dari belenggu gereja yang sangat represif terhadap pengemukakan pendapat yang tidak sejalan dengan perspektif gereja. Ilmu pengetahuan menentang kepicikan pandangan gereja, ia juga menentang penggunaan kekerasan oleh gereja demi memuaskan pandangan mereka yang dangkal. Harus diingat ilmu pengetahuan sesungguhnya bukanlah melawan sebuah agama melainkan menentang sebuah struktur kekuasaan yang memihak pada golongan elit, yang dalam hal ini para pendeta dan paus beserta bangsawan-bangsawan yang telah menjadi sekutu mereka.
Para ilmuan tidak dibunuh dan disiksa karena mereka menentang keinginan Tuhan ataupun kebaikan umat manusia, mereka dibunuh karena mereka mengancam validitas hegemoni gereja beserta pendeta-pendetanya untuk menjadi penguasa dan memiliki kekuasaan besar. Persekusi terhadap para ilmuan dan orang-orang lain yang berani menetang gereja adalah keseluruhan dari hadirnya gerakan pembebasan dari belenggu manusia oleh Barat. Pergerakan inilah yang menjadikan Barat peradaban terkuat dan yang paling berpengaruh didunia selama beberapa abad ini. Tapi dalam perjalannya ilmu pengetahuan telah tumbuh begitu kuatnya sehingga hegemoninya telah mencakupi segala sisi dari manusia modern. Bahayanya terletak dari pendogmaan nilai-nilai ilmu pengetahuan itu sendiri. Dan ini sudah terjadi, bukankah ilmu pengetahuan telah terstruktur sedemikian rupa sehingga ia telah mempunyai arogansi untuk menyatakan dirinya sebagai satu-satunya yang berhak dalam menyatakan kebenaran, sama seperti yang diaku oleh para pendeta dan paus jaman pertengahan. Ilmu pengetahuan telah membentuk gereja baru dimana hanya segelintir orang saja yang berhak untuk mendapatkan dan mengeluarkan kebenaran, sementara semua pernyataan yang tidak datang dari “gereja” ilmu pengetahuan adalah kebohongan dan ketololan belaka. Ilmu pengetahuan telah menggantikan gereja tetapi dengan memiliki kesempitan yang sama.
Sekarang cara persekusi “gereja”, ilmu pengetahuan tidaklah melalui pengadilan untuk menyiksa dan membunuh orang-orang yang tidak konform, yang tidak nurut, tetapi melalui sebuah sistem yang diatur sedemikian rupa sehingga ide-ide dan rencana orang-orang “pembangkang” ini tidak akan pernah didengar ataupun disetujui, baik melalui media massa yang terlalu bisa terhadap keampuhan dan kesucian dogma-dogma ilmu pengetahuan maupun masyarakat yang terhipnotis dan terlalai oleh keagungan yang dipertunjukan ilmu pengetahuan sehingga mereka mempunyai semacam “pendapat umum” dan “akal sehat” yang bertujuan menangkis segala macam bentuk pelanggaran tersebut.
Ilmu pengetahuan akan kita ubah dan nasibnya tak akan sama lagi seperti gereja abad pertengahan, karena ilmu pengetahuan adalah kekuatan yang bisa sangat bermanfaat bagi manusia jika digunakan dengan cara yang bijaksana. Ilmu pengetahuan akan kita lepaskan juga dari sistem-sistem yang hanya akan merugikan manusia pada jangka panjang. Walhasil ilmu pengetahuan tidak pernah memberikan jawaban untuk manusia. Viagra bukanlah jawaban, pestisida bukanlah jawaban, apalagi rekayasa genetika dsb. Sebegitu banyak yang telah dihasilkan, tetapi sebegitu banyak yang tidak bermutu, bahkan banyak yang berbahaya. Kehampaan makna bisa jadi merupakan penyebab kehancuran ilmu pengetahuan dimasa mendatang. Tapi bukanlah ilmu pengetahuan yang bersalah, ia tetap merupakan kekuatan yang jika digunakan secara masuk akal akan sangat berguna bagi perwujuda cita-cita manusia, yang mungkin pada akhirnya hanyalah sesederhana pencarian kebahagiaan sejati.
Pendidikan Yang Membebaskan
Pendidikan ataupun penyelenggaraan proses belajar-mengajar, diantaranya dalam bentuk pelatihan, pada dasarnya tidak pernah terbebas dari kepentingan politik ataupun terbebas demi melanggengkan sistem sosial ekonomi maupun kekuasaan yang ada. Pandangan ini berangkat dari asumsi bahwa pendidikan bagi aparatus dominasi selalu digunakan demi melanggengkan ataupun melegitimasi dominasi mereka. Oleh karena itu hakekat pendidikan bagi masyarakat dunia tidak lebih dari sebagai sarana untuk mereproduksi sistem dan struktur sosial yang tidak adil seperti sistem relasi kelas, relasi gender, relasi rasisme ataupun sistem relasi lainya. Pandangan semacam itu dikenal dengan teori reproduksi dalam pendidikan.
Seharusnya pandangan maupun teori pendidikan harus berangkat dari asumsi dan keyakinan bahwa pendidikan adalah proses “produksi” kesadaran kritis, seperti menumbuhkan kesadaran kelas, kesadaran gender maupun kesadaran kritis lainnya. Bukan cuma pemikiran atau suatu panduan pelatihan belaka. (Pendidikan merupakan proses pembebasan manusia untuk memproduksi kesadaran kritis). Bahwa manusia dalam sistem dan struktur sosial yang ada pada dasarnya mengalami proses dehumanisasi karena eksploitasi kelas, dominasi gender maupun karena hegemoni dan dominasi budaya lainnya. Oleh karena itu pendidikan merupakan suatu sarana untuk “memproduksi” kesadaran untuk mengembalikan kemanusiaan manusia, dan dalam kaitan ini, pendidikan berperan untuk membangkitkan kesadaran kritis sebagai prasarat upaya untuk pembebasan.
Bagaimana proses pembebasan dan proses belajar untuk membangkitkan kesadaran kritis dan pembebasan dilakukan?
Proses pendidikan sebagai proses pembebasan tidak pernah terlepas dari sistem dan struktur sosial, yakni konteks sosial yang menjadi penyebab atau yang menyumbangkan proses dehumanisasi dan keterasingan pada waktu pendidikan diselenggarakan. Dalam era Globalisasi Kapitalisme seperti saat ini, pendidikan dihadapkan pada bagaimana mengkaitkan konteks dan analisis isinya untuk memahami globalisasi secara kritis dan lebih tertuju untuk bagaimana membuat proses belajar yang relevan terhadap formasi sosial yang dominan saat ini, yakni globalisasi kapitalisme dan menguatnya Neoliberalisme. Strategi ini lebih berkesan menerima dan mensiasati justru untuk penyesuaian terhadap globalisasi. Sementara itu sekarang jarang proses belajar yang mengintegrasikan analisis globalisasi secara kritis dan bagaimana mereka berperan dengan proses kritik dan melakukan dekonstruksi, untuk menemukan solusi alternatif terhadap globalisasi, seperti misalnya menciptakan diskursus tandingan terhadap diskursus globalisasi yang dominan dengan perspektif alternative.
Untuk mendorong proses belajar menjadi peka terhadap persoalan ketidak-adilan sosial era globalisasi ini, perlu setiap dalam penyelenggaraan proses belajar secara otonom menentukan visi dan misi sesuai perkembangan formasi sosial, bagaimana memperjelas keberpihakan terhadap proses ketidakadilan sosial, serta bagaimana menterjemahkan kesemua itu mampu diterapkan dalam metodologi dalam penyelengaraan proses belajar. Oleh karena itu metode dan teknik “hadap masalah” menjadi salah satu kegiatan yang strategis untuk merespon sistem dan diskursus yang dominan.
Persoalannya, dalam penyelenggaraan proses belajar selalu ditemukan kelemahan sekaligus kekuatannya, seringkali menjadi arena yang paling tidak terkontrol dan tidak termonitor. Sehingga diperlukan mekanisme yang memungkinkan pesrta proses belajar sebagai subjek dan pusat kegiatan penyelenggaraan proses belajar dan konstituensi utama proses belajar memungkinkan memiliki peran kontrol dan monitor untuk mewujudkan proses belajar yang membebaskan. Oleh karena itu orientasi untuk setiap peserta untuk menghayati visi dan misi mereka, serta kesadaran kritis peserta sangat diperlukan jika akan meletakkan peserta belajar sebagai subyek dan pemonitor proses dan metode untuk transformasi sosial .
Paradigma pendidikan memainkan peran penting dalam menentukan dibalik metode penyelenggaraan proses belajar dan dimana letak posisi peserta didalamnya. Antara teori pendidikan dan metodenya berkaitan secara kongkrit dan dalam bentuk ”panduan pelatihan” atau training manual. Dengan cara penyajian dan analisis seperti ini akan memberi inspirasi yakni bahwa proses belajar seharusnya meletakkan peserta sebagai subyek, bukanlah sebagai objek.
Dalam perspektif kritis, tugas pendidikan adalah melakukan refleksi kritis, terhadap sistem dan ‘ideologi yang dominant’ yang tengah berlaku dimasyarakat, serta menantang sistem tersebut untuk memikirkan sistem alternatif kearah transformasi sosial menuju suatu masyarakat yang adil. Tugas ini dimanifestasikan dalam bentuk kemampuan menciptakan ruang agar muncul sikap kritis terhadap sistem dan sruktur ketidak-adilan sosial, serta melakukan dekonstruksi terhadap diskursus yang dominan dan tidak adil menuju sistem sosial yang lebih adil. Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa netral, obyektif maupun “detachmen” dari kondisi masyarakat.
Visi kritis pendidikan terhadap sistem yang dominan sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk mencipta sistem sosial baru dan lebih adil adalah agenda pendidikan. Dalam perspektif kritis, pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi sosial. Dengan kata lain tugas utama pendidikan adalah ‘memanusiakan’ kembali manusia yang mengalami “dehumanisasi” karena sistem dan struktur yang tidak adil.
Paham pendidikan kritis ini cocok dengan paradigma transformatif. Penyelenggaraan proses belajar mengajar dalam perpektif ini juga menjadi arena kritik ideologi. Proses belajar dalam bentuk pelatihan bagi para buruh misalnya, peserta pelatihan, perlu ditantang untuk memahami proses eksploitasi yang mereka alami, serta memikirkan proses pembebasan dari alienasi dan eksploitasi buruh, disamping penekanan pada teori motivasi kerja demi efisiensi yang hanya menguntungkan akumulasi kapital tersebut. Demikian halnya dalam kontek pelatihan pertanian misalnya, para petani saat ini sering diarahkan hanya untuk memenuhi ambisi produktivitas dan efisiensi sebagai implikasi dari pendukung pertanian dari pandangan dominan Revolusi Hijau dan rekayasa genetika, namun jarang difasilitasi untuk mempertanyakan relasi kekuasaan dan bencana bagi para petani dari suatu teknik pertanian. Dalam kontek itulah pilihan paradigma pendidikan dan proses belajar memainkan peran strategis untuk proses perubahan dan transformasi sosial.
Ideologi pendidikan terbagi dalam tiga kerangka yang didasarkan pada kesadaran idologi masyarakat; kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naif (naival consciousness) dan kesadaran kritis (critical consciousness). Hal ini berangkat dari suatu analisis bahwa sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya, membuat masyarakat mengalami proses ‘demumanisasi’. Pendidikan sebagai bagian dari sistem masyarakat justru menjadi pelanggeng proses dehumanisasi tersebut. Secara lebih rinci bahwa proses dehumanisasi tersebut dengan menganalisis entang kesadaran atau pandangan hidup masyarakat terhadap diri mereka sendiri.
Perhatian dan fokus utama adalah mengupas tentang bagaimana membangkitkan kesadaran kritis dilaksanakan dengan metode dan teknik yang emansipatoris kritis pula.
Teknik ini terlahir dengan semangat kritik terhadap mazhab pendidikan yang terpengaruh pemikiran Positivisme. Hal ini mengingat bahwa kuatnya pengaruh positivisme dalam diri banyak fasilitator, juga berpengaruh terhadap praktek pendidikan dan pelatihan, proses belajar lainnya terhadap masyarakat yang justru bertolak belakang dengan semangat pembebasan dan transformasi sosial. Metode yang dikembangkan banyak pendidikan dan pelatihan dimasyarakat mewarisi pikiran positivisme seperti obyektivitas, empiris, tidak memihak pada peserta, berjarak dengan obyek belajar (detachment), rasional dan bebas nilai membuat banyak fasilitator yang sesungguhnya justru menghambat proses pembebasan dan menghilangkan watak dan menumpas benih-benih emansipatoris pada setiap proses pendidikan dan pelatihan.
Penyelenggaraan pendidikan dalam perspektif positivistik merupakan proses fabrikasi dan mekanisasi pendidikan untuk memproduksi keluaran pendidikan yang harus sesuai dengan ‘pasar kerja’. Proses belajar yang diselenggarakan juga tidak toleran terhadap segala bentuk ‘non positivistic ways of knowing’ yang disebut sebagai tidak ilmiah. Pendidikan menjadi a-historis, yakni mengelaborasi model masyarakat dengan mengisolasi banyak variabel dalam model tersebut. Peserta dididik untuk tunduk pada struktur yang ada mencari cara-cara dimana peran, norma, dan nilai-nilai yang dapat diintegrasikan dalam rangka melanggengkan sistem tersebut. Asumsi yang mendasari pendidikan itu adalah bahwa tidak ada masalah dalam sistem yang ada, masalahnya terletak pada sikap mental, pengetahuan dan ketrampilan peserta belaka, termasuk kreativitas, motivasi, keahlian teknis peserta. Oleh karena itu dalam perspektif positivisme, pendidikan dan pelatihan lebih dimaksud untuk mengembangkan kecerdasan, ketrampilan dan keahlian peserta pelatihan belaka, sementara komitment, keyakinan dan kepercayaan terhadap sistem yang lebih adil dan motivasi untuk menantang terhadap struktur sosial yang ada tidak dilakukan, namun lebih sibuk memfokuskan pada bagaimana membuat sistem yang ada bekerja.
Proses belajar seharusnya dalam kerangka proses transformasi sosial dalam keseluruhan sistem perubahan sosial. Untuk meletakkan proses belajar dalam peran transformasi sosial, pertama perlu melakukan analisis struktural tentang lokasi pemihakan pada penyelenggaraan proses belajar terlebih dahulu. Tanpa visi dan pemihakan yang jelas terhadap siapa, pendidikan sulit diharapkan menjadi institusi kritis untuk pembebasan dan perubahan sosial. Pendidikan juga perlu melakukan identifikasi issue-issue strategis dan menetapkan visi dan mandat mereka sebagai pendidikan untuk pemberdayaan. Tanpa pemihakan, visi, analisis dan mandat yang jelas, pendidikan tanpa disadari telah menjadi bagian dari “status quo” dan ikut melanggengkan ketidakadilan. Bahkan tanpa pemihakan yang jelas, pendidikan hanyalah menjadi alat penjinakan atau alat hegemoni dari sistem dan ideologi kelompok dominan. Kesemuanya pendirian pendidikan ini juga berimplikasi terhadap metodologi dan pendekatan dan proses belajar mengajar dalam suatu proses pendidikan.
Pendidikan yang memanusiakan Fasilitator dan Peserta didik
Peranan fasilitator sangat strategis secara positif maupun negatif dalam setiap proses belajar. Untuk itu dalam usaha untuk membebaskan fasilitator dari proses dehumanisasi harus mendapat perhatian. Inti dari pembebasan fasilitator adalah dengan mentransformasikan hubungan fasilitator-peserta. Dalam perspektif pendidikan yang menindas, para fasilitator berperan dan menempatkan diri mereka justru sebagai subyek pelatihan, sementara itu peserta justru diletakkan sebagai obyek. Itulah sebabnya mengapa hubungan antara fasilitator dan peserta harus menjadi hubungan yang “dialogis”.
Hubungan fasilitator dan peserta dibanyak sekali penyelenggaraan pendidikan sering terjadi lebih bersifat hubungan atau relasi kekuasaan atau “subjugation” yakni proses penjinakan dan penundukan, terutama pada pendidikan dan pelatihan yang menjadikan peserta sebagai obyek. (Pendidikan yang meletakan peserta sebagai obyek pelatihan, adalah pendidikan penjinakan dan oleh karenanya ia bagian dari problem dehumanisasi). Paradigma pendidikan bukan membebaskan dan mentransformasikan pendidikan dengan struktur diluarnya saja, tapi juga mentransformasi relasi “knowledge power” dan dominasi hubungan yang ‘mendidik’ dan ‘yang dididik’.
Sungguhpun banyak orang pesimis untuk menjadikan pendidikan dan pelatihan menjadi organ independen untuk kesadaran kritis dan pembebasan, namun kita justru harus merasa sangat optimis terhadap pendidikan yang membebaskan. Oleh karena itu peluang akan kita ciptakan untuk senantiasa mengembalikan fungsi pendidikan dan pelatihan sebagai proses transformasi sosial. Usaha yang perlu dilakukan sebelum melakukan transformasi sosial adalah mentransformasi diri sendiri yakni membongkar struktur tidak adil dan relasi didalam dunia pendidikan lebih dahulu. Ini berarti menggugat watak otoriter dan feodalisme dalam setiap penyelenggaraan pendidikan. Dengan demikian diperlukan suatu usaha kolaborasi antara fasilitator dan peserta belajar untuk secara bersama-sama melakukan transformasi relasi mereka menjadi lebih egaliter.
Setiap proses pendidikan dan pelatihan selalu dihadapkan pada pilihan antara menyesuaikan diri dan mereproduksi sistim yang ada, atau memerankan peran kritis terhadap sistem yang ada. Jika proses belajar lebih dimaksudkan untuk menyiapkan ‘sumber daya manusia’ untuk mereproduksi sistem yang tidak adil, tanpa menggugatnya, maka proses belajar yang di selenggarakan tersebut adalah bagian dari masalah. Karena dengan posisi seperti itu pada dasarnya proses belajar tersebut justru ikut melanggengkan ketidak-adilan masyarakat. Dengan kata lain penyelenggaraan pendidikan telah gagal memerankan visi utama pendidikan sebagai ‘pemanusiaan manusia’ untuk menjadi subyek transformasi sosial. Transformasi yang dimaksud adalah suatu proses penciptaan hubungan (relationships) yang secara fundamental baru dan lebih baik. (Memproses untuk konstrusksi wacana struktur sosial, ekonomi, politik, budaya dan pengetahuan yang lebih adil).
Pendidikan selain mencitakan relasi lingkungan, juga sistem prasarana penyelenggaraan proses belajar yang menyenangkan. Dalam sistem pendidikan yang otoriter dan tidak menyenangkan, sulit bagi penyelenggaraan pendidikan memerankan peran kritisnya. Dengan demikian langkah strategis terpenting adalah justru menciptakan proses belajar yang otonom dan partisipatori dalam pengembangan kurikulum, dan menciptakan ruang bagi proses belajar untuk menjadi diri mereka sendiri. Dengan demikian setiap pendidikan adalah otonom dan unik untuk menjadi diri mereka sendiri. Jika pendidikan mencitakan relasi lingkungan dan menyenangkan yang terjadi akhirnya akan melahirkan masyarakat otonom dan sadar diri pula. Pendidikan mencitakan relasi lingkungan dan menyenangkan akan melahirkan masyarakat yang pada akhirnya akan menyumbangkan lahirnya bangsa kita yang adil dan makmur.
Pendidikan Hukum Negara dan Politik
Perkenalan sejumlah besar orang-orang dengan masalah-masalah negara dengan tuntunan yang menyesatkan menciptakan tukang-tukang mimpi utopis dan warga negara yang buruk sebagaimana kita sendiri mengetahui dari contoh pendidikan umum bagi masyarakat dengan cara ini. Semua prinsip-prinsip itu (yang demikian cemerlangnya) telah memecah tata tertib mereka. Tapi kalau kita sudah berkuasa. kita akan menyingkirkan kembali segala macam yang mengganggu rakyat dari jalur pendidikan dan akan membangun pemuda anak-anak penguasa yang taat, yang cinta kepada yang memerintah karena bantuan dan harapan akan perdamaian dan ketenangan.
Ajaran klasik, juga seperti bentuk apa pun pengajaran sejarah kuno, di dalamnya lebih banyak contoh-contoh yang buruk dari pada yang baik. Dan  kita akan menggantikannya dengan studi program masa depan. Kita akan menghapus dari ingatan  manusia semua fakta abad-abad sebelumnya yang tidak menyenangkan. Studi mengenai kehidupan yang praktis, kewajiban hukum / tata tertib, hubungan rakyat satu dengan yang lain, penghindaran dari contoh-contoh yang jelek dan  mementingkan diri sendiri yang menyebarkan infeksi kejahatan dan masalah-masalah semacam itu dari alam yang bersifat mendidik (berdasarkan sunnahtullah yang distudi secara mendalam), harus berdiri di garis depan program  pengajaran, yang akan direncanakan pada perencanaan yang terpisah / tersendiri untuk setiap panggilan atau keadaan hidup, tidaklah bijaksana menyama-ratakan pengajaran. Cara perlakuan ini terhadap masalah mempunyai kepentingan khusus.
Agar penghancuran seluruh kekuatan kolektif efektif (kecuali kepunyaan kita), kita akan melemahkan tingkatan kolektivisme yang pertama yakni perguruan tinggi, dengan mendidik kembali mereka dengan suatu cara yang baru. Para pegawai dan professor perguruan tinggi harus dipersiapkan untuk usaha mereka dengan program  kegiatan rahasia yang mendetail/ terperinci dari mana mereka tidak punya kekebalan buat meyimpang sedikitpun. Mereka kita angkat dengan tindakan pencegah yang istimewa, dan akan kita tempatkan sedemikian rupa supaya sepenuhnya bergantung pada Pemerintah.
Kita akan menyingkirkan jalur pengajaran Hukum Negara sedemikian juga semua yang berkaitan dengan masalah politik. Mata pelajaran-pelajaran ini akan kita ajarkan kepada beberapa lusin orang yang terpilih karena kemampuan-kemampuan mereka yang istimewa dari antara sejumlah mereka yang berinisiatif. Perguruan tinggi mesti tidak lagi menghasilkan orang-orang yang pengejut atau banci yang hanya mengotak-atik atau membuat-buat rencana-rencana untuk suatu konstitusi, laksana suatu komedi atau tragedy, menyibukkan diri dengan masalah-masalah politik di mana bahkan ayah mereka sendiri tak pernah punya kekuatan berpikir sedikitpun (maksudnya walaupun sarjana dengan sederetan title tidak mampu berpolitik dan menyusun konstitusi yang sesuai dengan sunnahtullah).
Setiap keadaan hidup mesti dilatih/ dididik dalam  batasan-batasan yang tegas sesuai dengan alamat tujuannya dalam kehidupan. Orang jenius jarang selalu memimpin dan akan selalu memimpin untuk menyelinap ke dalam keadaan-keadaan hidup yang lain. Tapi alangkah bodohnya demi kepentingan orang jenius yang jarang sekali ini, membiarkan mereka yang tidak berbakat menembus ke dalam barisan yang asing bagi mereka des yang merampoki tempat/ kedudukan kepunyaan kalangan orang yang menurut kelahiran atau pekerjaannya. Kalian sendiri mengetahui dalam hal ini semua telah berakhir bagi mereka yang mengijinkan ke mustahilan yang mendesak ini.
Agar yang memerintah dapat ditempatkan dengan kuat dalam hati dan pikiran warga negaranya adalah perlu dalam waktu itu kegiatannya untuk mengajar seluruh bangsa disekolah-sekolah dan ditempat-tempat pasar mengenai maksudnya dan tindakkannya dan semua inisiatif yang bermanfaat.
Kita akan menghapuskan segala macam kebebasan pengajaran. Pelajar dari semua umur akan punya hak untuk berkumpul bersama dengan orang tua mereka dalam bangunan / ruang pendidikan seperti dalam  klub: selama berkumpul ini, pada liburan, guru akan membacakan apa-apa yang berlaku sebagi bacaan bebas mengenai masalah-masalah hubungan manusia, hukum-hukum yang menjadi contohan, pembatasan-pembatasan yang lahir dari hubungan yang tak disadari dan akhirnya mengenai filsafat dari teori-teori baru yang belum diumumkan kepada dunia. Teori-teori ini akan kita tegakkan untuk tahapan suatu dogma kepercayaan sebagai tahapan  transisi menuju  kepercayaan (agama) untuk penyempurnaan mengenai program aksi kita dalam masa sekarang dan yang akan datang.
Pendeknya, penetahuan berdasarkan pengalaman yang berabad-abad bahwa rakyat hidup dan ditunutun oleh cita-cita / ide-ide, bahwa ide-ide ini di minum oleh rakyat dengan bantuan pendidikan yang memberikan hasil yang sama bagi semua usia pertumbuhan, tapi tentu saja, dengan berbagai metode, kita akan menelan dan menyita untuk perguruan kita sendiri kilauan kebebasan  pribadi yang terakhir, yang dalam  masa lampau yang panjang kita telah mengarahkan kepada penduduk dan ide-ide yang berguna bagi kita. System pengendalian pikiran telah siap dikerjakan pada apa yang disebut system pengajaran dengan pelajaran objek (seperti menggunakan alat peraga, sebagaimana kata mereka yang terkenal : “kalau mengajar lembu bawalah lembu itu ke dalam kelas; tapi bagi orang yang telah mendalami Ilmu Jiwa Berfikir; bahwa alat peraga yang berlebih-lebihan atau yang tak efektif justru pada tingkat tertentu akan menghambat proses abstrakasi dan dapat menyesatkan logika !!!”), tujuananya untuk membelokkan masyarakat untuk tidak berpikir tunduk membabi buta menunggu barang yang di sajikan di depan mata mereka yang membentuk suatu ide pada mereka.

Belum ada Komentar

Posting Komentar