Pertanyaan Abadi

Saat usiaku sudah 16 tahun, jiwaku sudah bukan hitam putih lagi. Untuk pertama kali dalam hidupku, spiritualitasku mengembang. Pada saat bersamaan aku berfikir tentang kehidupan. Apa tujuan hidup ini sesungguhnya? Tiba-tiba aku tersentak, ada ilham yang entah dari mana dan benakku memikirkan kematian.
"Bagaimana kalau suatu pagi aku terbangun dan berubah pikiran? Mungkinkah aku akan telah melakukan sebuah kesalahan besar?Lalu kenapa ada kematian, setelah mati nanti ada apa. Lalu, orang macam aku ini, kalau mati mau diapakan, ditaruh mana?”
Aku paham untuk pertama kalinya bahwa Tuhan itu ada, dan manusia sengaja diciptakan Tuhan dengan penciptaan yang termulia dan untuk tugas yang termulia pula. Diciptakannya manusia bukan untuk sebuah kesia-siaan. Bahkan semua makhluk lainnya diciptakan untuk mendukung manusia dalam mencapai tujuan mulia dalam hidupnya.
Sekarang aku sampai pada satu titik kepahaman, bahwa yang menjadi penyebab jauhnya ketenangan dari hidupku karena aku menghabiskan sebagian besar umurku tanpa Tuhan. Masih ditempat itu, aku berdoa, ‘Oh Tuhan, siapapun atau apapun Engkau, tunjukkanlah bagaimana menemukan-Mu’.
"Ini sebuah titik penting dalam perjalanan hidupku. Karena aku, saat itu berpikir untuk mencari dan mempelajari konsep religi yang akan mampu menjawab semua pertanyaanku. Benakku penuh dengan pergulatan konsep keTuhanan. Aku bertekad untuk terus mencari ke mana seharusnya aku melangkah secara spiritual."
Aku mulai mencari agama. Acap kali ke perpustakaan atau toko buku, aku tergerak untuk menuju koleksi buku-buku agama dan falsafah. Dahaga rohaniku sudah terlalu lama. Tujuanku satu, mencari dan menemukan kebenaran hakiki.
Aku mencarinya dalam falsafah-falsafah yang cukup berat dan serius, diantaranya Nietzchze dan sistem falsafah yang dikenal sebagai The Work. Aku juga mencari dalam berbagai filosofi new-age, juga ajaran Buddhisme, ajaran Dalai Lama dan membaca berbagai buku pengembangan diri.
Tapi dari sekian banyak itu, tak ada yang memuaskanku. “Dari petualangan itu, aku hanya mendapat kehampaan. Tidak ada ketenangan, bahkan yang ada hanya rasa cemas dan takut.”
“Oh Tuhan,..., dimana Engkau? Kemana harus ku cari ketentramanku?”
Apa yang terjadi selanjutnya? Aku berpikir harus mencari tempat berlindung.
Dikala rintik-rintik hujan mulai turun, aku pergi ke gereja dan berdoa. “Tuhan, hujan telah turun dan bunga lili bermekaran. Kata guruku, bunga lili adalah bunga ibu dan anak, tapi kini ibuku telah tiada. Siapa lagi yang kuharapkan didunia ini selain Engkau. Tetapi kenapa Kau tak juga muncul dihadapanku?
Tak tahu kah Kau, sudah berapa lama aku menunggu ditempat ini? Dan tak tahu kah Kau apa yang terjadi padaku setiap hari? Sebenarnya derita itu ada atau tidak, mengapa hari-hariku begitu sulit?
Apa saja yang Kau lakukan diatas sana? Apa Kau sedang melatihku dalam kondisi sulit semacam ini, dikarenakan aku tak pernah mengalami sejumlah ketidak beresan semacam ini?
Tuhan, aku yang berbicara pada-Mu dengan membenci kesombongan dengan seluruh keberadaannya, termasuk tempramen dan keadaan mental, sekarang, apakah aku harus mengambil pembelaan diriku sendiri? Hanya seorang yang sangat terluka, yang telah merasa semua hal terabaikan dan harapannya terinjak-injak yang bisa berbicara seperti ini. Namun  setelah Kau diam, hatiku serasa semakin tipis. Seperti mentega yang dioleskan kebebarapa roti. Hingga membuatku ingin pergi; untuk waktu yang lama dan bahkan tak ingin kembali.
Tuhan, Kaulah yang kutuju dalam setiap doa, dan nama Nabi-Mu yang ku ukir sebagai namaku. Apa mungkin sudah saatnya aku memutuskan untuk mengambil keputusan guna meninggalkan-Mu? Bukankah keputusanku ini nanti akan memancing kepanikan yang nyata? Dan semua orang-orang itu akan melihatku sebagai setan kecil pemaki sedang memberitahu mereka bahwa aku akan mengancurkan seluruh pekerjaan mereka?
Sejujurnya, aku tak siap untuk mengambil keputusan ini sekarang; meskipun bila saja aku tak berada dalam keadaan terpaksa sekalipun. Namun dalam keadaan diam pun, aku juga tidak lebih merasa sama saat mungkin aku bicara.
Padahal belum lama aku mengenal adanya diri-Mu, dan belum sempat aku berterima kasih pada-Mu, tapi seakan-akan semuanya tiada arti bersama kediaman-Mu. Apakah lebih baik bagiku melakukan semua ini agar terjadi kejelasan sepenuhnya?”
Suara pastur diikuti oleh suara-suara yang ada di kepalaku, “Atas nama Bapa dan Putra dan Roh kudus, kamu mengira bisa terbebas dari kami?”
Mereka mengejek. “Kamu tak akan pernah terbebas dari kami. Tak ada ampunan.” Kata satu suara.
“Tak ada pembebasan,” tambah yang lain.
“Tak ada keringanan atas dosa-dosamu,” tegas suara ketiga.
Tiba-tiba jemaat gereja membengkak jumlahnya, semua menatapnya dengan  pandangan menghina, marah, dan benci.
“Musuhmu ada di sekelilingmu. Mereka tahu kamu dikutuk di neraka. Pergilah, lakukan perintah mereka. Mati.” Sambil terhuyung-huyung aku lari meninggalkan gereja.

***

Ketika waktu mulai digoreskan Tuhan, sebuah kalam tengah melanjutkan kisahnya tentang  kehidupan. Namun kehidupan manusia semakin maju, hingga malam pun tak cukup untuk sebuah mimpi.
Kondisiku pun sampai pada tahapan yang sangat buruk. Mengalami kekosongan jiwa di dalam hati yang haus kebenaran. Aku berusaha untuk membungkam diriku sendiri dengan jawaban-jawaban diriku. Disaat kebingungan, aku memutuskan untuk menikmati kehidupan dan berbuat sesuka hati. Aku tak dekat-dekat lagi ke agama. Dia memilih hidup tanpa Tuhan, kawan, setan, hanya semangat dan kebahagiaan.
Aku terus hidup seperti itu. Akan tetapi aku terus menderita kekosongan jiwa, karena keinginanku untuk mengetahui kebenaran belum hilang.
Aku sangat ketakutan, aku tak tahu apa yang harus dilakukan. Saat itu aku juga takut bila teringat kematian. Disaat yang bersamaan, aku masih berusaha mencari kebenaran. Pikiranku mengembara kemana-mana, dan tidak bisa menemukan orang yang bisa memberi manfaat padaku. Ini menyakitkan. Aku kehilangan rasa kehidupan. Karena putus-asa, aku berpikir sekali-sekali tak mengapa lah bila berjalan dalam kebatilan. Lalu aku pun kecanduan. Jalan salah dan yang kuketahui tapi aku menjalankannya.
Karena candu, aku menderita sakit parah yang membingungkan. Meski begitu, tak sekalipun aku mengatakannya pada keluargaku. Awalnya aku cuma merasakan debaran jantung yang membuatku sedikit sesak. Tapi semakin lama semakin sakit dan menyesakkan. Jika penyakit itu kumat, jantungku seperti tersumbat sampai rasanya mau pecah. Akibatnya, aku sering kali tidak bisa menyelesaikan pembicaraan dengan sempurna. Dan fisikku pun melemah karena terganggu dengan datangnya rasa sakit akibat sumbatan itu. Penyakit ini benar-benar membuatku kesal. Karena teman-teman selalu mengejekku sebagai orang yang lemah. Kadang muncul bisikan-bisikan liar dan kotor yang menggodaku untuk melakukan sesuatu yang tak terpuji. Aku ingin selalu menusukkan pisau kedadaku, aku ingin bunuh diri.
Benar-benar, aku tak tahan dengan rasanya. Belum juga himpitan dari dalam hati yang ingin meledak keluar. Aku sudah tak sanggup lagi.
 “Seandainya di sini ada pistol, Demi Tuhan aku akan tembak kepala ku sendiri.”
Inilah ‘sisi dalam’ seorang penderita skizofrenia. Hidupnya dikuasai ”para iblis” di dalam kepalanya yang selalu menyuruhnya bunuh diri.
Berapa tahun sudah aku lewati dalam keadaan seperti ini, aku pun merasa semakin kecil dengan langkah kakiku. Aku juga tak menemukan orang yang menyembuhkanku, selain harap  doa  pada  Tuhan agar Dia memberikanku petunjuk kepada kebenaran.
Aku terus didera keinginan untuk mengetahui kebenaran. Dan aku bertanya tentang tujuan hidup ini. Timur Tengah menjawab, ‘agar manusia bisa beribadah kepada- Nya.’Asia Tengah menjawab, ‘agar manusia mencapai kesempurnaan dan bisa kembali kepada-Nya.’ Eropa Barat menjawab, ‘agar manusia bisa terselamakan dalam firman-Nya’. Masih banyak  jawaban lain yang dapat ku peroleh–tapi dari jawaban-jawaban itu adakah cara yang bisa di temukan untuk bertemu dengan Tuhan? Atau mungkin ‘Tuhan’ bukanlah Dzat Yang Maha Mulia, tapi sebatas pada sistem yang ada di dalam diri manusia? Tentu saja aku tidak bisa mengambil keputusan sendiri mengenai hal itu.
Akhirnya aku menyerah tanpa tahu lagi jawabannya. Hanya angan yang menerawang dalam kesemuan dan kekosongan akan bayang-bayang hidup yang kian buram, yang serasa semakin mencekam, menciptakan beribu kegelisahan, menjauhkanku dari bayang-bayang kehidupan yang kuinginkan. Dan begitulah yang terulangi dari hari kehari.
Aku tak bisa hidup tanpa arah yang pasti. Sehingga pada suatu waktu aku tertegun dan merenungi hidup; ‘mengapa kehidupanku harus kujalani seperti ini, tanpa ada kedamaian dan kebahagiaan dalam sanubari? Tidak ada ketenangan, bahkan yang ada hanya rasa cemas dan takut.’
Aku berdiri, dan aku awali langkah dengan ketakutan akan kegelapan yang mengepungku.  Aku  berusaha  melihat  sesuatu  dalam  gelap  dan  bertanya,  ‘adakah tuntunan untuk tahu harus kemana?’
Aku mencari jawaban atas segala kenyataan yang ku hadapi. Saat-saat seperti itu, terkadang aku lebih memilih menyelam kedalam diri sendiri.
Suatu malam, ketika semua orang sudah tertidur lelap, aku yang masih berusia enam belas tahun ini duduk sendiri di atas ranjang tidurku dalam posisi bersila serta kedua tangan terlipat ke dada dengan mata menatap jendela. Aku berusaha menentukan langkah untuk kehidupan yang lebih baik.
Dalam keheningan itu, aku berdoa; "Tuhan, aku minta Engkau datang menampakkan diri ke kamarku. Aku ingin melihat-Mu. Kalau aku bisa melihat-Mu, aku berjanji aku akan percaya pada-Mu."
Setengah jam, aku masih belum melihat apa-apa, dan waktu terasa sangat lama saat menunggu sesuatu yang di inginkan. Aku tetap berusaha menunggu karena aku orang yang mempunyai kepercayaan. Meski aku menghabiskan waktuku, dalam bagian-bagian kecil, bagian yang berbeda. Detik, menit, dan jam. Tapi akhirnya aku tak mampu berada di dalam keadaan ketidak-terbatasan.
“Apa hidup adalah menunggu? Apa menunggu adalah perintah. Apa memperolehnya bukan hakku? Apa ketika aku menunggu, Dia memberi?” Dan setelah lama menunggu, tak satu pun tanda dia bertemu Tuhan.
Malam berikutnya, aku tetap berdoa menanti hingga larut malam. Dan Tuhan tak juga muncul. Aku masih menunggu bukti tentang adanya Tuhan. Tapi tak ada bukti lagi. Aku lelah, sebab tak juga Tuhan mau menunjukkan diri-Nya. Ada kekuatan besar mempengaruhi hidupku, aku sudah tak sanggup lagi. Aku sudah berdo’a kepada Tuhan untuk menampakkan diri, tapi tidak dikabulkan-Nya. Ketika itu aku menjadi marah kepada Tuhan.
“Kenapa Engkau tak aku temukan? Kenapa Engkau ini? Padahal seharusnya Engkau tak seperti ini. Apa memang mereka semua benar jika tak ada pembebasan untukku? Padahal aku ingin sekali tetap hidup bersama-Mu. Aku juga tak ingin takut dan berusaha lari seperti pengecut, aku tak ingin kalah lagi dari keadaan, aku benar-benar ingin bersumpah dan menghentikan semua ini. Jadi, segeralah tampakkan diri-Mu dan berikan aku kebenaran-Mu, agar aku bisa bicara tentang harapan, hasrat, dan mimpi-mimpiku.”
Bulu romaku tiba-tiba berdiri. Seperti ada angin yang yang berhembus melewati ventilasi jendela. Kemudian bayangan-bayangan aneh, bentuk-bentuk tidak jelas hadir dan bergerak di depan mataku.
Celaka, suara-suara itu datang lagi dan memperingatkan, “Bahkan Tuhan pun tak mau menampakkan diri-Nya padamu. Tuhan telah mendepakmu semenjak lahir! Dia tak peduli denganmu semenjak dulu.” Kata satu suara.
“Kamu cuma seonggok daging. Cepatlah bunuh dirimu. Bukankah kami sudah menyuruhmu untuk mati dari dulu? Gantunglah dirimu. Selesaikan ini. Akhiri ceritanya di sini. Bukankah semua orang juga akan mati? Apa bedanya sekarang atau lima puluh tahun lagi?” Tambah suara yang lain.
“Tidak, aku tak ingin mati. Aku masih menunggu-Nya. Aku ingin hidup untuk-Nya. Aku ingin mencintai-Nya. Bagiku, kalau aku ada untuk merasakan hal itu, tak ada dunia lain yang lebih menyenangkan seperti itu. Aku ingin merasakan kesenangan hidup dan keberadaan yang tidak hilang.”
Namun, suara-suara itu mengejekku lagi, “Bukankah Tuhan tak mau memperlihatkan diri-Nya padamu? Pergilah! Matilah! Jika kau tak mau melakukannya sendiri, lihatlah diluar sana, banyak sekali orang yang bisa membantu mengakhiri hidupmu. Pengecut. Lakukan sekarang!” Suara-suara itu menyorakiku.
“Ya Tuhan, apa hidup ku adalah sesuatu yang tak tampak, hingga sepertinya aku pantas menerima semua ini? Kenapa hidup yang Kau berikan seperti ini? Hidupku yang gelap. Hidupku yang hampa. Hidupku yang berisik. Hidupku yang penuh kegaduhan.”
Dengan suara-suara yang terus mengejekku, aku berteriak kepada Tuhan. “Tuhan, dimana Engkau? Kemana harus kucari ketentraman ku? Tidak tahukah jika Kau telah mematahkan hatiku? Sekarang, apakah aku harus mengambil pembelaan diriku dengan mengatakan aku putus hubungan dengan-Mu tanpa Engkau cegah dengan penampakan-Mu?
Tuhan, tak sedikit keinginanku untuk bertemu, tapi akankah Kau biarkan aku menghilang bersama kediaman-Mu? Tolong jangan biarkan aku putus asa dan menjadi setan kecil pemaki yang menghujat-Mu seperti ini!”
Dan suara-suara itu terus mengejar, “Bagaimana pendapat Tuhan tentangmu sekarang? Apa kata-Nya tentang si kecil Elian? Kau lelaki menjijikkan. Bocah busuk, kau benar-benar layak mati. Mati.” Suara itu terus berteriak di kepalaku.
Semakin sering suara-suara itu memperingatkan. Ada kekuatan besar mempengaruhi hidupku. Akusudah tak sanggup lagi. Akuselalu berdo’a kepada Tuhan untuk menampakkan diri, tapi tidak dikabulkan-Nya, itu membuatku marah kepada Tuhan. Hanya beberapa saat saja aku berhasil bertahan mengharap kedatangan Tuhan. Akudilanda kekecewaan. Tuhan mematahkan hatiku.
Entah hal itu menghidupkan atau mematikan logikaku, tapi hanya beberapa saat aku berhasil bertahan mengharap kedatangan Tuhan. Sampai akhirnya di satu titik, aku menyatakan tak punya hubungan apapun dengan Tuhan. Aku menyatakan diri, aku tidak mau lagi mengenal Tuhan. Aku berhenti.
“Mungkin memang seharusnya aku mengikuti suara-suara itu. Apa lebih baik kurancang sendiri kematianku?” Bisik hatiku.

Belum ada Komentar

Posting Komentar